... achhh .. mendengar kata itu sudah dipastikan membuat bulu kuduk saya merinding untuk membayangkan raut ketakutan yang terpancar dari wajah mungil si bocah yang duduk di kursi pesakitan. Terbayang pula suara bocah yang terbata menjawab pertanyaan dari si Hakim dan Jaksa dengan jiwanya terguncang hebat. Ruang sidang, petugas berseragam, dan rumah tahanan tentunya akan menjadi mimpi buruk si bocah sepanjang hidupnya.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK memang mengatur bahwa seorang anak yang sudah mencapai 8 Tahun bisa dituntut ke Pengadilan karena perbuatannya yang dianggap melanggar hukum, tentunya dengan sanksi yang berbeda berdasarkan perbedaan umurnya, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Dalam proses pengadilannya, Undang-undang juga mensyaratkan perlakuan yang layak dengan mempertimbangkan psikologis anak yang sayangnya hal ini masih sangat sulit diterapkan oleh Aparat Penegak Hukum.
Hal ini terlihat dari kasus peradilan anak sebagaimana yang dimuat di http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0602/22/utama/2459558.htm, saya tidak tahu bagaimana akhir dari kasus tersebut namun yang membuat saya sedikit emosi adalah pernyataan hakim yang memimpin sidang tersebut, "Menurut Saedah, pada sidang pertama hakim langsung memvonis anaknya. "Hakim bilang, dari raut mukanya saja dia tahu bahwa anak saya memang anak nakal," ujar Saedah."
Terlepas dari benar tidaknya hakim majelis mengeluarkan stament tersebut, permasalahan perlakuan terhadap seorang terdakwa yang masih berumur 8 tahun sudah seharusnya mempertimbangkan segala hal yang mengikuti kondisi fisik maupun kejiwaan sang bocah dimaksud.
"Hakim tunggal yang mengadili perkara Raju, Tiurmaida H Pardede, dirasakan telah menyidangkan perkara ini demikian "tegas". Raju merasa diperlakukan sebagai pesakitan yang pantas duduk di kursi terdakwa. Suara tegas ibu hakim menjadi seperti bentakan yang menakutkannya. Raju akhirnya menangis di persidangan. "Raju takut karena bu hakimnya bentak-bentak Raju," ujar bocah yang lahir pada 9 Desember 1997 itu.
HAKIM SIALAN ... BAJINGAN KAU !!!
Ketika seorang anak menunggu persidangan, UU peradilan anak mensyaratakan si anak untuk tidak ditempatkan di ruang sel tahanan bersama tahanan yang lainnya melainkan di ruang tunggu khusus yang terpisah dengan terdakwa yang dewasa. Tapi ... coba baca kutipan selanjutnya dari kasus si Raju ... "Saedah menuturkan, pada hari persidangan, Raju harus menunggu panggilan sidang di ruang tahanan yang memang biasa tersedia di pengadilan. Di ruangan itu berkumpul banyak terdakwa lain yang menunggu untuk disidangkan. Tak ada satu pun anak-anak."
Menyimak kata-kata yang tertuang dari berita kasus si Raju membuat saya semakin tidak kuat menahan geram di hati kenapa mereka yang berjubah "Pengadilan" bisa memperlakukan Raju sedemikian rupa, .................
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id