Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2009
loading...

PENAHANAN TERSANGKA PERKARA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN

Dalam suatu perkara perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana diatur Pasal 335 ayat (1) KUHPidana dapat dilakukan penahanan meskipun ancaman hukumannya paling lama 1 (satu) tahun. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf (b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kualifikasi penahanan seorang tersangka dalam dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan tetap mengacu pada suatu alasan hukum seperti diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Dalam surat perintah penahanannya, instansi yang berkepentingan (penyidik, penuntut umum atau hakim) harus menyebutkan alasan penahanannya. Tanpa penyebutan alasan penahanan, maka penahanan yang dilakukan adalah cacat hukum dan dapat dipraperadilankan. Dalam praktek hukum, seorang tersangka dalam perkara perbuatan tidak menyenan

MEMAHAMI KEKECEWAAN KLIEN TERHADAP ADVOKAT

Dalam menghadapi suatu perkara hukum, adakalanya orang menyerahkan pengurusan dan penyelesaiannya melalui jasa advokat sebagai orang yang paham tentang teknis, prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara tersebut. Dengan mempercayakan pengurusannya melalui jasa advokat, klien berharap penuh agar permasalahannya terselesaikan secara baik dan tentunya memuaskan bagi dirinya. Sayangnya, pengharapan klien tersebut kepada advokat terkadang sangat besar bahkan terkadang terkesan “memaksa”, advokat harus dapat memenuhi keinginan si klien. Pemahaman “memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien” tidak terlepas dari idiom di masyarakat yang menyesatkan “advokat/ pengacara membela yang bayar”. Entah idiom tersebut hanyalah suatu guyonan atau sungguh-sungguh, masyarakat tampaknya belum paham tentang profesi Advokat. Dalam menjalankan tugas profesinya membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya, Advokat tetap berpatokan pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 huru

Matinya Hak Jual Suami atau Istri atas Harta Bersama dalam Perkawinan

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Makna yang dapat ditarik dari ketentuan pasal tersebut adalah sepanjang dalam ikatan perkawinan tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (perjanjian harta terpisah), suami atau istri tidak dibenarkan secara hukum melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak kepemilikannya dalam bentuk apapun. Jika ketentuan pasal di atas diabaikan, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang tidak sah menurut hukum, yang artinya perbuatan hukum dimaksud dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam ayat (2)-nya dikatakan, bahwa Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masi