SEJUTA POTENSI KERUGIAN NEGARA
ATAS PERDAGANGAN SATWA LIAR ILLEGAL
(Kupasan Dari Yang Terlarang)
A. Satwa Sebagai Komoditi Illegal Yang Menggiurkan.
Dalam skala tahun 2003 Pemerintah melalui Surat keputusan Menteri Kehutanan No.516/Kpts-II/1995 yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 telah menetapkan sekurang-kurangnya 236 jenis satwa yang dilindungi dengan perincian 70 jenis mamalia, 93 jenis Aves, 31 jenis reptilia, 7 jenis pisces, 20 jenis insecta, 1 jenis anthozoa dan 14 jenis bivalvia.
Oleh karena satwa-satwa tersebut memiliki potensi ekonomis maka dalam laporan rekapitulasi realisasi peredaran dan realisasi penerimaan devisa negara dari perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dikeluarkan oleh Sub Direktorat Tertib Peredaran TSL - Departemen Kehutanan mengharapkan realisasi perdagangan atas jenis-jenis satwa tersebut dapat mendatangkan devisa bagi Negara sebesar 21.504.948,35 $ US Dollar (jika dikurskan dalam rupiah, kurang lebih sebesar Rp. 19.354.453.515 (terbilang : sembilan belas milyar tigaratus lima puluh empat juta empat ratus lima puluh tiga ribu lima ratus lima belas rupiah)).
Dengan demikian jelas dan terang perdagangan satwa liar merupakan kegiatan ekonomi dan sosial yang tidak dapat begitu saja diabaikan. Bila saja kita tidak memperdulikan maka sudah dapat dipastikan bahwa kerugian yang timbul bukan saja meliputi bidang ekonomi dan sosial melainkan juga mencakup nilai-nilai kehidupan (value and culture) yang menjadi kebanggaan bangsa dan negara. Hal ini dapat dikatakan karena secara fakta dan diakui secara Internasional, Indonesia termasuk tiga negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia bersama Zaire dan Brazil. Dimana berdasarkan penelitian lembaga Internasional jelas-jelas menyatakan bahwa biodeversity Indonesia memiliki tingkat kekhasan (endemism) yang sangat tinggi.
Bahwa kemudian berdasarkan laporan-laporan media massa, keberadaan underground economy seperti nilai Penyelundupan satwa langka sangatlah mengkhawatirkan karena kegiatan tersebut tidak tercatat dalam statistik resmi kegiatan ekspor. Hal ini tentu saja sangat merugikan negara karena ada potensi pajak yang hilang. Berdasarkan laporan yang dimuat diharian Kompas tanggal 16 Februari 2003 menyatakan potensi kerugian negara akibat penyelundupan Satwa Langka diperkirakan lebih dari Rp 100 trilyun per tahun. (bandingkan dengan potensi devisa yang diharapkan).
Nilai potensi kerugian sebagaimana dimaksud di atas kiranya dapat dikaitkan dalam asumsi dengan salah satu contoh kasus keberadaan orangutan Indonesia illegal di Thailand :
Dipasaran Internasional, seekor bayi orangutan dihargai sekitar USD 2500. Saat ini di Thailand telah terungkap bahwa kurang lebih ada 200 orangutan Indonesia yang diselundupkan ke negara tersebut. Dengan kurs 1 dollar saat ini berkisar Rp. 9.800,- maka dapat terhitung potensi kerugian negara atas penyelundupan tersebut adalah kurang lebih sebesar Rp.4.900.000.000 (empat milyar sembilan ratus juta rupiah).
Angka tersebut baru kita dapatkan dari suatu kasus yang ada, belum berbicara terhadap kasus penyelundupan satwa-satwa lain seperti burung kakatua jambul kuning yang juga merupakan komoditi yang menggiurkan. Sebagai catatan, menurut monitoring WWF Monokwari, setiap 4 bulan ada 6.480 ekor burung kakatua jambul kuning yang diselundupkan ke Singapura dengan harga jual Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap ekornya. Terbayangkan dibenak kita hilangnya uang negara senilai Rp 32.400.000.000 (tiga puluh dua milyar empat ratus juta rupiah).
Jika kedua angka kerugian di atas kita gabungkan Rp.4.900.000.000 + 32.400.000.000 maka akan didapatkan total kerugian negara sebesar Rp. 37.300.000.000 (tiga puluh tujuh milyar tiga ratus juta rupiah).
Sekali lagi, ini baru kasus yang terlaporkan dan termonitoring oleh media massa maupun oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap perlindungan dan pelestarian satwa liar dilindungi. Masih banyak kasus-kasus perdagangan dan penyelundupan satwa liar ke luar negeri yang tidak termonitoring. Hal ini dapat dikatakan karena sudah menjadi fakta bahwa petugas-petugas yang memiliki kekuasaan sebagai pengawas (seperti bea cukai, kepolisian dan lain sebagainya) terhadap peredaran dan perdagangan satwa liar tidak memiliki koordinasi sinergi yang optimal. Karena tidak ada koordinasi sinergis maka ada celah-celah yang dapat dimanfaatkan para pelaku-pelaku illegal dimaksud.
Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali telah menyebabkan laju kerusakan sebesar 3,8 juta hektar pertahun. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101, 73 juta hektar hutan dan lahan yang rusak dimana 59, 62 juta hektar kerusakan tersebut terjadi dalam kawasan hutan.
Secara implisit, hal ini telah menyebabkan satwa-satwa liar kehilangan habitatnya. Kehilangan habitatnya tersebut secara langsung diakibatkan oleh penebangan maupun pembukaan lahan.
Laju kerusakan hutan sebagaimana dimaksud di atas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perubahan data dan jumlah satwa liar yang dilindungi.
Dalam kurun waktu tahun 1994 sampai dengan tahun 1997 tercatat kurang lebih ada 379 jenis aves yang dilindungi yang kemudian secara signifikan pada tahun 1998 berubah menjadi 93 jenis. Ini baru dari satu jenis satwa, belum membicarakan perubahan terhadap jenis-jenis satwa lain yang juga mengalami perubahan secara signifikan.
Selain karena kerusakan hutan, perubahan data dan jumlah satwa yang dilindungi juga diakibatkan oleh karena perdagangan dan penyelundupan satwa liar yang dilakukan tanpa mempedulikan kuato-kuota tangkap yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud SK Dirjen PHKA No.14/KPTS/DJ-IV/2003 tanggal 28 Pebruari 2003 yang pada pokoknya hanya menetapkan 8.655 ekor mamalia untuk diekspor dari 21.450 ekor yang ditangkap dari alam, 554.500 ekor reptilia hasil tangkapan alam dimana untuk ekspor ditetapkan 499.560 ekor, 1,576.010 ekor amphibia untuk diekspor dan 58.250 ekor satwa jenis aves untuk diekspor.
B. Kondisi Praktek Perdagangan Satwa Liar Illegal di Indonesia.
Berdasarkan uraian fakta-fakta di atas, jelas dan terang dilihat dari sisi ekonomi, negara telah dirugikan akibat perdagangan dan penyelundupan satwa liar. Angka-angka tersebut hanya sebatas kerugian dari harga satwa saja, belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani bencana alam akibat satwa yang hilang. Ingat, Satwa liar itu sangat membantu pelestarian alam. Misalnya, hewan sejenis primata seperti owa jawa atau orangutan dapat menjadi media penyebaran biji pepohonon. Biji yang ditebar oleh satwa itu secara tidak sengaja, memiliki kemungkinan yang besar untuk tumbuh menjadi semaian. Begitu juga yang dilakukan oleh hewan lain seperti burung atau babi hutan.
Perdagangan satwa liar dewasa ini sudah sangat memprihatinkan. Jaringan perdagangan satwa yang dilindungi sudah menyerupai mafia dan sangat sulit untuk ditembus. Omzetnya pun dapat mencapai puluhan miliar rupiah.
Umumnya modus operandi yang dilakukan adalah adanya bandar-bandar besar yang menampung satwa dilindungi. Untuk membeli satwa liar yang berharga mahal, tidak jarang harus didahului oleh pertemuan rahasia saat negosiasi.
Keterlibatan aparat/ oknum pejabat baik dipusat maupun didaerah ikut pula meramaikan transaksi perdagangan dan penyelundupan satwa liar. Tidak jarang dalam operasi penyitaan satwa liar yang dilakukan terhadap pedagang atau masyarakat, operasi penyitaan merupakan kamuflase dari keinginan petugas untuk melakukan pemerasan atau memperdagangkan kembali satwa hasil sitaan ke pedagang yang lain.
manfaatkan satwa liar secara arif dan lestari
BalasHapus