�tolong apa ??�
�Dirumah lagi nggak ada beras � mungkin bapak bisa bantu � takut anak-anak dirumah nggak bisa makan �..�
Begitu sekelumit permohonan yang diajukan oleh orangtua pembantuku. Ironis!!!
Orangtua pembantu ku bekerja sebagai petani. Dikampungnya, di daerah Rangkas bitung beliau memiliki sawah sekurangnya 2 (dua) hektare. Yang menurut logika, dari hasil panen sawahnya bisa mencukupi pangan keluarganya. (sekali lagi, MEMENUHI PANGAN, untuk sandang, maaf, no comment).
�Kenapa memangnya, apa panen tahun ini gagal ?�
�enggak, pak �. Panenan kemarin sudah habis dijual �.�
Berpikir lagi aku jadinya, ku coba kalkulasikan hasil penjualan panennya dengan harga seliter beras sekarang yang sudah mencapai Rp. 3000/ liter. Dibenakku setidak-tidaknya menciptakan angka �angka yang kiranya cukup untuk biaya hidup suami istri dengan 4 (empat) orang anak.
�lhoo �.� Aku hentikan niatku untuk bertanya karena melihat tampang si bapak yang cukup memelas tersebut. Wajah yang tua dengan hiasan kriput dengan tubuh yang terbungkus kulis tipis, �ya sudahlah pak, saya bantu �..�
Petani .. sawah � kenapa bisa hidup dalam kekurangan ???
Sejumlah data dari berbagai sumber menyebutkan, stok beras cukup memadai. Produksi gabah nasional, bahkan mengalami surplus alias melampaui target. Suatu gambaran yang terbalik dari kenyataan yang aku temui bukan ?
Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di negara berkembang tidak seketika memberi garansi keberhasilan dalam pembangunan. Umumnya, negara yang kaya sumber alam justru gagal, sementara negara yang miskin sumber alam malah berhasil dalam pembangunan. Kebutuhan dan tuntutan untuk mengatasi kemiskinan sumber daya alam memaksa negara seperti Korsel dan Taiwan membuat kebijakan yang memihak kepentingan rakyat.
Bagi negara berkembang, kekayaan sumber alam menimbulkan paradoks. Ibarat pisau bermata dua, kekayaan itu menjadi kekuatan sekaligus kelemahan, rahmat sekaligus laknat. Dan, yang terjadi dalam pembangunan Indonesia selama ini adalah paradoks kelimpahan.
Terry Lynn Karl dalam Paradox of Plenty Oil Booms and Petro-States (1997) menyatakan, Indonesia -di masa Orde Baru- sangat tergantung pada sektor migas sebagai sumber keuangan utama dalam pembiayaan pembangunan. Ketergantungan pada sektor migas memperlemah mekanisme kontrol, minimnya transparansi dan akuntabilitas publik, sembari menyediakan ruang lebar tumbuhnya virus-virus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Strategi industrialisasi pembangunan yang berorientasi pada sektor migas membuat minimnya keberpihakan pemerintah terhadap kondisi objektif masyarakat yang membiayai proses pembangunan itu.
Sebuah negara, menurut Peter Evans (1995), dapat menjadi penguasa yang bersifat predator atau developmental, tergantung pada sumber pembiayaan utama untuk menjalankan roda pemerintahan. Ketergantungan Indonesia pada sektor migas membuat sektor yang lain diabaikan.
Pemerintah seringkali membuat kebijakan yang timpang, terutama terhadap sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian utama sebagian besar rakyatnya. Hal ini tentu berbeda dengan Brazil, yang sukses meraih predikat negara raksasa pertanian (the agricultural superpower). Keberhasilan Brazil tak lepas dari perhatian khusus dari negara terhadap sektor pertanian (The Economist, 5/10/2005)
Negara Predator
Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan yang dihadapi petani -terutama petani gurem (petani penggarap)- tidak lagi berkutat dengan tuan tanah (pemilik tanah). Saat ini, petani berhadapan langsung, dan dihimpit oleh negara dan pasar (tengkulak). Kebijakan negara yang tidak memihak petani menampilkan ciri khas negara sebagai pemangsa (predatory).
Teriakan, bahkan tangisan petani padi, bisa jadi tak terdengar lagi oleh pemerintah, yang lebih berpihak kepada kelompok pengusaha industri yang menginginkan harga pangan murah. Pemerintah (baca: Departemen Perdagangan dan Bulog) nampaknya lebih suka menghamburkan devisa negara untuk petani negara lain, ketimbang menggunakan anggaran negara untuk membeli beras produksi petani sendiri.
Celakanya, Bulog sebagai lembaga penyangga stok pangan, bukan badan yang bebas dari praktik kongkalikong berbau KKN. Tanpa disadari, kebijakan yang tidak memihak petani cenderung untuk membunuh sektor pertanian itu sendiri.
Pada saat yang sama, sektor pertanian juga tak bisa lepas dari intervensi mekanisme pasar. Hukum pasar menyediakan ruang seluas-luasnya bagi naluri pedagang untuk mengeruk laba sebesar-besarnya. Biasanya, begitu panen, padi yang masih terhampar di sawah langsung ditebas tengkulak dengan harga murah.
Baru mendengar rencana impor, para pedagang menimbun beras, menyembunyikan beras dari peredaran. Dan sesuai hukum permintaan dan penawaran, jika harga beras dalam negeri rendah dari pasaran luar negeri, mereka akan menyelundupkan keluar.
Sebaliknya, jika harga di pasar internasional lebih rendah dari dalam negeri, mereka akan menyelundupkan ke dalam. Penyelundupan itu berpotensi menjatuhkan harga beras di tingkat konsumen.
Salah satu faktor penyebab runtuhnya peradaban, menurut Jared Diamond (2005), adalah buruknya penyelesaian persoalan melalui kerangka institusi politik, ekonomi, sosial dan nilai-nilai budaya. Institusi sosial, ekonomi, dan politik yang semakin kompleks, tidak serta merta berpihak pada mereka yang lemah.
Impor beras sejatinya mengandung dimensi luas, yakni politik ekonomi. Impor beras tak sekadar urusan ekonomi, tetapi juga menyangkut persoalan politik dan kedaulatan pangan. Tragis, bila negara yang mengklaim dirinya agraris tapi tak mampu memenuhi swasembada pangan. Sangat berbahaya, bila sebuah negara menggantungkan pasokan pangan dari negara lain.
Kebijakan impor besar tatkala petani mengalami surplus beras, merupakan wujud tidak adanya keberpihakan pemerintah. Masuknya beras impor dipastikan merugikan petani, menyebabkan harga jual beras dan gabah menurun. Kendati mereka sudah mengorbankan apa saja untuk menanam padi, harapan harga yang bagus saat panen menjadi sirna. Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), ikut mendongkrak ongkos tanam dan harga pupuk. Kondisi itu cenderung membuat petani tak bergairah lagi menanam padi.
Banyak petani memilih menanam padi sebagai pakan sapi ketimbang menunggu panen. Ini juga menjadi ironi strategi industrialisasi pembangunan tatkala sektor pertanian mulai ditinggalkan, tapi sektor industri yang menjadi prioritas tak kunjung ditemukan.
Pelan tapi pasti, sektor pertanian menunggu sakaratul maut. Anak-anak petani enggan mengikuti jejak nenek-moyangnya, karena bertani dianggap tidak prospektif dan tidak bergengsi, alias udik. Anak-anak petani -meski tanpa skill memadai- memilih ber-urbanisasi menjadi kuli bangunan, atau mengais rejeki di negeri orang, menjadi TKI. Padahal, menjadi petani adalah profesi mulia yang menopang kehidupan jutaan warga republik.
Tapi, siapa mau bertani dan menjadi petani, yang hanya cukup untuk sekadar survive. Selebihnya menderita, saat panen berhasil harus menangis, tatkala panen gagal harus meringis. Semoga Presiden Yudhoyono tidak lupa bahwa ia meraih gelar doktoralnya di bidang pertanian.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id