Beberapa hari ini setiap melihat berita di TV, pasti ada saja anak kecil yang menjadi korban kekerasan orang dewasa. Orang dewasa itu bisa laki-laki bisa pula Perempuan. Bentuk siksaan yang diterima sang anak kecil tersebut bermacam-macam, mulai dari siksaan fisik dalam bentuk tamparan, bacokan, disetrika bahkan dibakar !!!
Dibakar !!!
EDAAAAAAANNNNNNN ��mereka melampiaskan kekesalan dan kegusaran hatinya pada si anak yang notebene tidak mengerti apa yang dikesalkan. BAJINGANNNNNNNNN �.. mereka sudah tidak punya nurani dan cinta kasih � pantasnya mereka disebut ANJING, BABI !!! mereka bukanlah manusia �.
Saya sampai merinding melihat tayangan anak �anak yang menjadi korban kekerasan. Tatapan mereka mencermin tatapan masa depan yang kosong. Ya � tatapan yang kosong karena hati, jiwa, tubuh dan pikiran mereka telah dihancurkan oleh si BABI, ANJING yang merasuk jiwa si Bapak, Om, Tante, Bibi, Paman, Ibu dan lain-lain.
Teringat kenangan pada waktu kecil dulu, BAPAK saya adalah seorang tentara yang mendidik anak-naknya dengan displin penuh. Jika saya atau saudara-saudara saya tidak mendengarkan atau meneruti perintahnya, Bapak tidak segan-segan memukul atau menampar kami. Ya, saya memang mengalami kekerasan fisik tapi Bapak tidak melakukan kekerasan fisik seperti yang dilakukan si ANJING atau si BABI yang seakan hidup-mati anak berada di tangan mereka.
Si ANJING dan Si BABI terlalu dan sangat terlalu menempatkan diri sebagai sosok dominan dan boleh berbuat apa saja terhadap anaknya. Mereka berpikir kenyataan bahwa GUE ini yang melahirkan, membesarkan serta membiayai kebutuhan anak.
Belum lagi dengan usianya yang jauh lebih tua daripada anaknya membuat SI BABI DAN SI ANJING kerap merasa lebih kuat, lebih pintar, lebih berpengalaman bahkan dengan alasan "dulu juga pernah jadi anak - anak" maka SI BABI DAN SI ANJING juga sering menganggap kalau dirinya lebih tahu kebutuhan anaknya daripada sang anak sendiri. Dengan kondisi-kondisi seperti ini, maka ketika si anak tidak melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkannya apalagi bila berani membantah maka dengan sangat mudah SI BABI DAN SI ANJING merasa tersinggung, merasa tidak dihormati, merasa harga dirinya dilecehkan oleh anak. Padahal bisa jadi, dan besar kemungkinan, hal itu lebih disebabkan oleh belum tahunya anak. Atau mungkin karena si anak sedang masuk ke tahap di mana ia mulai menunjukkan keberadaan dirinya.
Sangat kecil kemungkinan SI BABI DAN SI ANJING mendapat penolakan atau bantahan dari anaknya yang berusia kurang dari dua tahun. Semua keinginan SI BABI DAN SI ANJING akan dituruti. Memang saat paling enak menjadi SI BABI DAN SI ANJING adalah ketika anaknya belum berusia dua tahun, ketika anaknya masih menjadi "anak manis". Sehingga kerap kita dengar keinginan "aneh" SI BABI DAN SI ANJING agar anaknya tetap kecil sehingga tetap menjadi anak penurut.
Apa yang terjadi ketika anak mulai berusia tiga tahun? Ketika daya nalarnya mulai berjalan, ketika rasa percaya dirinya mulai muncul, ketika keinginan untuk dihargai mulai menjadi tuntutan, dan ketika kosakata penolakan telah memperkaya perbendaharaan kata-katanya, si anak penurut itu mulai berkata "nggak mau". Ia mulai melakukan penolakan terhadap keinginan SI BABI DAN SI ANJING. Dan mulai mengedepankan keinginannya. Kondisi ini jelas menggoyah sendi otoritas SI BABI DAN SI ANJING. Untuk mempertahankannya maka SI BABI DAN SI ANJINGpun mengedepankan kekuasaannya, yang antara lain berupa kekerasan. Itu sebabnya kasus kekerasan terhadap anak mulai ditemui sejak anak berusia tiga tahun.
Pemahaman akan hak penuh SI BABI DAN SI ANJING terhadap anak ini pula yang membuat kasus kekerasan terhadap anak, tidak dibatasi oleh kondisi finansial SI BABI DAN SI ANJING. Artinya tidak hanya anak orang miskin saja yang kerap mengalami kekerasan atau sebaliknya. Selalu saja ada celah anak mengalami kekerasan, tentu saja untuk strata ekonomi yang berbeda maka akan berbeda pula bentuk kekerasan yang mereka alami.
Bagi keluarga berkecukupan, anggapan hak penuh ini membuat SI BABI DAN SI ANJING memaksa anaknya untuk melakukan / berprestasi sesuai dengan keinginaannya semata, tidak peduli apakah anaknya senang atau tidak, apakah anaknya mampu atau tidak. Anak dipasok dengan dukungan finansial asalkan mau mengikuti cita-cita SI BABI DAN SI ANJING, entah itu paksaan untuk mengikuti aneka les (hingga anak tak lagi sempat bermain), lecutan agar selalu menjadi juara kelas (bila tidak jadi juara dianggap bodoh), dorongan agar terkenal bak selebritis, dsb. Bisa juga berupa pengabaian atensi SI BABI DAN SI ANJING, entah karena kesibukan atau adanya anggapan telah memenuhi kebutuhan finansial anak.
Sementara bagi SI BABI DAN SI ANJING yang kurang mampu, pemahaman hak penuh atas anak menjadi senjata bagi SI BABI DAN SI ANJING untuk memaksa anaknya tidak atau keluar dari sekolah dan bekerja.
Saat ini mungkin hukum atau sejuta peraturan perlindungan terhadap anak sudah berlaku tapi tetap tidak akan mampu menghentikan SI ANJING DAN SI BABI menghentikan perbuatannya.
Kita tidak bisa melakukan apa-apa kalau SI ANJING DAN SI BABI tetap melakukan kekerasan terhadap sang anak karena yang kita lakukan hanyalah teriak dan menyerukan �HENTIKAN � BIADAM !!!!!!!!!!!�
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id