Idealnya pembuatan suatu peraturan harus melalui tahapan-tahapan yang diantaranya adalah tahap sosialisasi baik sebelum diundangkan ataupun setelah diundangkannya suatu peraturan. Tujuan sosialisasi pada kedua tahapan itu agar masyarakat mempunyai kesempatan memberikan tanggapan terhadap rencana suatu peraturan. Peraturan adalah produk dari proses politik. Proses politik tidak lepas dari berbagai kepentingan politik baik kepentingan lembaga yang mengusulkan peraturan tersebut maupun kepentingan mereka yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan sosialisasi suatu peraturan yang telah dijadikan sebagai produk hukum bertujuan agar masyarakat luas memahami apa yang telah disepakati sebagai suatu peraturan yang mengikat warga negara dengan segala konsekuensinya.
Dalam konteks perlindungan dan pelestarian satwa liar Indonesia sudah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya alam Hayati Dan ekosistemnya.
Pada dasarnya satwaliar dilindungi adalah milik negara. Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada pasal 24 disebutkan bahwa, �...satwaliar dilindungi yang dimiliki perorangan harus dirampas untuk negara.�
Bahwa kepemilikan dan perdagangan satwaliar dilindungi merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum yang marak terjadi di masyarakat. Ironisnya bentuk pelanggaran hukum ini masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan bahkan dianggap dapat meningkatkan gengsi pelakunya. Maraknya pelanggaran hukum tersebut terjadi karena akumulasi dari kondisi di negara kita yaitu :
a. Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap produk hukum yang mengatur perlindungan terhadap satwa dan terhadap fungsi satwa dalam ekosistem.
b. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mentaati hukum yang berlaku.
c. Lemahnya penegakan hukum.
d. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan tingginya pengangguran.
Bicara tentang lemahnya penegakan hukum dari perlindungan dan pelestarian satwa liar Indonesia sebagaimana diamanatkan UU No. 5 Tahun 1990 dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala yaitu:
1. Berdasarkan pemantauan di lapangan, pemilikan satwa yang dilindungi oleh perorangan cenderung meningkat, karena bermakna prestige, ditambah lagi nilai jasa yang diberikan satwa liar kepada para pemeliharanya sangat bervariasi seperti kemerduan, keindahan, keunikan dan jasa wisata.
2. Terdapat Satwa liar dilindungi yang dijadikan salah satu komoditas komersil, karena didorong oleh banyaknya peminat untuk memiliki satwa liar dilindungi. Kondisi ini mendorong adanya kelompok pemburu ilegal yang berburu satwa di habitatnya.
3. Terdapat pemahaman yang berbeda dimana belum semua orang menyadari bahwa untuk memperoleh satwa liar dilindungi diperlukan prosedur sebagaimana telah diatur berdasarkan SK. Menhut No. 301/Kpts-II/1991 jo. SK. Menhut No. 479/Kpts-VI/1992. Ketentuan ini mengatur penitipan pemeliharaan satwa liar dilindungi tetapi bukan penyerahan pemilikan.
4. Kegiatan penertiban satwa liar dilindungi memerlukan dana serta sarana prasarana yang besar, namun faktor ini belum tersedia mengingat keterbatasan anggaran pada pemerintah.
Hal-hal sebagaimana terurai di atas tetap berlangsung walaupun usia dari UU No. 5 Tahun 1990 sudah cukup lama dan tersosialisasi di kalangan masyarakat luas. Ironisnya, ketidaktahuan masih menjadi tameng bagi para pelanggar UU No. 5 Tahun 1990. Padahal atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya Hukum perlindungan dan pelestarian satwa liar. Jika seorang warga melakukan pelanggaran terhadap Hukum perlindungan dan pelestarian satwa liar, mereka akan kena sanksi hukum meskipun menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang oleh Hukum perlindungan dan pelestarian satwa liar.
Bahwa pada prinsipnya pemberlakuan suatu undang-undang harus berbasis pada kebutuhan hukum (need oriented of law) dimana adanya peraturan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dan suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi juga menimbulkan rasa keadilan, kepatutan dan (dengan demikian) dilaksanakan/ ditegakkan dalam kenyataannya.
Oleh karena Undang-undang No. 5 Tahun 1990 sudah lama berlaku namun implementasinya masih jauh dari harapan maka perombakan total terhadap undang-undang tersebut harus dilakukan secara menyeluruh termasuk dari segi sumber daya manusia, lembaga-lembaga hukum dan sistem pidananya. Hal ini sebagaimana menjadi tuntutan dengan berlakunya Tap. MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mengharuskan perubahan/revisi semua ketentuan perundang-undangan tentang sumber daya alam, termasuk kehutanan.
Perkembangan baru sebagaimana dirumuskan dalam Tap. MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolan Sumber Daya Alam, dapat pula sebagai arahan dan dasar pembangunan nasional dalam sistem hukum pengelolaan sumber daya alam, yang meliputi, antara lain hutan, tambang, air, perikanan, dan merupakan peluang hukum baru.
Prinsip-prinsip pengelolaan dan pengusahaan sumber daya alam, termasuk hutan dalam TAP MPR ini dijadikan dasar kajian ulang terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada, untuk mencabut, mengubah, dan/atau mengganti semua UU, serta peraturan yang tidak sejalan dan Tap MPR ini.
Tap MPR ini juga menjadi dasar dan arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang menganut keterpaduan dan sinkronisasi kebijakan antarsektor serta landasan resolusi konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul berdasarkan prinsip-prinsip hukum baru. Secara konstitusional, perkembangan ini merupakan bentuk hukum baru dalam rangka penyesuaian penafsiran hukum berdasarkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan amandemen ketentuan hukum terkait.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id