Langsung ke konten utama
loading...

Sertifikat Elektronik Sebagai Alat Bukti Surat


Diterbitkannya UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK pada akhirnya telah menggiring masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari dan memahami sistem hukum yang baru yakni hukum siber (cyber law) atau hukum telematika. Dimana permasalahan utama dengan diberlakukannya UU tersebut adalah mengenai kekuatan dan kedudukan sertifikat elektronik sebagai alat bukti.

Dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 12 UU No. 11/ 2008 secara tegas dan jelas mendefinikan tentang tanda tangan elektronik dan sertifikat elektronik yakni masing-masing didefinisikan sebagai berikut :

“Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.”

Dengan diaturnya tentang tanda tangan dan sertifikat elektronik dalam UU No. 11/ 2008 tersebut maka hukum Indonesia telah mengenal bukti hukum modern yang bentuknya sangat jauh berbeda dengan selama ini diatur dan dimaksud doktrin hukum perdata yang dianut Indonesia selama ini.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam proses perdata, bukti tulisan merupakan bukti yang penting dan utama. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 macam surat yang dapat dijadikan bukti yakni surat biasa, akta otentik dan akta dibawah tangan.

Surat biasa adalah sehelai surat biasa yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti seperti korespondensi dagang, surat antara bawahan dengan atasan dan sebagainya. Jika kemudian surat tersebut dijadikan bukti maka hal tersebut merupakan suatu kebetulan saja. Berbeda dengan surat biasa, Akta dibuat dengan kesengajaan untuk dijadikan bukti mengenai suatu kejadian hukum yang telah dilakukan.

Berdasarkan pengertian tentang sertifikat elektronik sebagaimana terkandung pasal 1 angka 9 UUN NO. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jika dikaitkan dengan alat bukti surat sebagaimana dimaksud pasal 164 HIR maka sertifikat elektronik dapat digolongkan sebagai Akta sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 5 ayat (1) UU tersebut yang menyatakan “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.

Permasalahan lebih lanjut adalah, apakah sertifikat elektronik tersebut termasuk Akta dibawah tangan atau akta otentik ?

Pasal 165 HIR mengatur definisi tentang akta otentik yakni “surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu”.

Dari definisi pasal 165 HIR tersebut tercantum pengertian bahwa akta otentik ada yang dibuat OLEH dan ada yang dibuat DIHADAPAN pegawai umum yang berkuasa membuatnya. Adapun perkataan “pegawai umum” menunjuk pada notaris, hakim, juru sita, pegawai catatan sipil dan sebagainya yang notabene merupakan pegawai/ pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang.

Dirunut dari proses penerbitannya, sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 10 jo. Pasal 13 UU No. 11/ 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka sertifikat elektronik tergolong sebagai akta di bawah tangan.

Sebagai alat bukti modern, sertifikat elektronik mempunyai kekuatan bukti formil dan materiil. Formilnya yaitu bahwa benar para pihak dalam Transaksi Elektronik sudah menerangkan dan menunjukkan status subjek hukum dari masing-masing pihak sebagaimana ditulis dalam sertifikat elektronik tersebut. Materiilnya, bahwa apa yang diterangkan dalam sertifikat elektronik adalah benar apa adanya.

Perbedaan kekuatan alat bukti surat dengan sertifikat elektronik sebagai alat bukti modern adalah sertifikat elektronik tidak mengikat bagi pihak ketiga dalam suatu transaksi elektronik. Hal ini sebagaimana dimaksud dan di atur Pasal 12 ayat (2) huruf c UU No. 11/ 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut. Ini artinya kekuatan sertifikat elektronik sebagai alat bukti surat tidak memiliki kekuatan bukti keluar. Singkat kata, nilai pembuktian dari sertifikat elektronik adalah sebagai buki bebas yang hanya dapat dipergunakan untuk menyusun persangkaan.

Komentar

  1. Rekan Wahyu sebagai bahan perbandingan silahkan lihat artikel di http://notarissby.blogspot.com/2008/05/notaris-dan-uu-no-11-th-2008.html
    Semoga menambah wawasan kita bersama.
    Ayo maju terus!! Viva Justisia !!
    Salam sejahtera
    Jusuf Patrick

    BalasHapus
  2. Anonim1:31 AM

    Sertifikat elektronik tidak memuat perjanjian dari para pihak yang bersepakat. Sertifikat elektronik mendukung dokumen elektronik yang berisikan suatu perjanjian. Sertifikat elektronik menyimpan kunci yang merupakan dasar pembuatan tanda tangan elektronik untuk ditempatkan pada dokumen elektronik.

    ulasan ttg seputar uu ite dan cybercrime dapat disimak pada : www.ronny-hukum.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Anonim1:35 AM

    ulasan ttg seputar uu ite dan cybercrime dapat disimak pada : www.ronny-hukum.blogspot.com

    BalasHapus
  4. Tentang CA atau Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dalam UU ITE telah saya uraikan peranannya.

    Silakan simak pada : www.ronny-hukum.blogspot.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy