Langsung ke konten utama
loading...

INGAT BATASAN PNS DALAM USAHA SWASTA

Status Pegawai Negeri Dalam Usaha Swasta.


Dalam kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta ada batasan-batasan [Wahyu1] yang perlu diperhatikan yakni :

Memiliki saham/ modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya[Wahyu2].



Memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatannya tidak berada dalam dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan.


Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan bagi PNS berpangkat minim golongan IV atau pejabat eselon I.


Bagi PNS yang berpangkat Penata Tingkat I Golongan III/d yang akan menjabat direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan baik secara resmi maupun sambilan wajib mendapat izin tertulis dari pejabat berwenang
[Wahyu3]

Pejabat yang berwenang dapat menolak permintaan izin atau persetujuan dimaksud apabila peizinan atau persetujuan itu akan mengakibatkan ketidaklancaran pelaksanaan tugas yang bersangkutan atau dapat merusak nama baik intansinya[Wahyu4] . Singkatnya dalam pemberian izin seorang PNS bersifat subjektif, sejauh mana penilaian atasannya terhadap si PNS yang bersangkutan.

Kalaupun Pejabat/ Atasan si PNS tersebut memberikan izin maka izin atau persetujuan tersebut diberikan untuk selama-lamanya 2 (dua) tahun, dapat diperpanjang setiap kali untuk 2 (dua) tahun.



[Wahyu1]PP No. 30 Tahun 1980 jo. PP No. 6 Tahun 1974

[Wahyu2]Pasal 3 ayat (1) huruf O, huruf P, huruf Q dan ayat (2) PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil

[Wahyu3]Pasal 3 ayat (1) huruf O, huruf P, huruf Q dan ayat (2) PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil


[Wahyu4]Pasal 5 ayat (1) . PP No. 6 Tahun 1974

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy