Langsung ke konten utama
loading...

Guru bukan Bagian dari bidang pendidikan nasional


Pasal 434 Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara menegaskan bahwasanya Kementerian Pendidikan Nasional mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pendidikan nasional dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam Pasal 435-nya, Peraturan Presiden tersebut menyatakan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan fungsi:


  1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan nasional;
  2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional;
  3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional;
  4. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pendidikan Nasional di daerah; dan
  5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.

Kemua fungsi penyelenggaran tersebut dibebankan kepada 4 Direktorat Jenderal yakni :


  1. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal;
  2. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar;
  3. Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah;
  4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi;

Lalu dimana peran Guru sebagai pendidik ? Tampaknya Presiden telah melupakan peran Guru sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan tidak tercantumnya lagi Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan sebagai bagian dari Kementerian Pendidikan Nasional padahal dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005, jelas dan tegas Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Artinya, Peraturan Presidan No. 10 Tahun 2005 jelas-jelas mengakui peran guru dalam pendidikan nasional dan harus diakui bahwa peraturan presiden tersebut jauh lebih baik dibandingkan Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010. Adalah suatu fakta, bahwa mengejar pengembangan sistem pendidikan nasional tanpa memperhatikan mutu guru sama saja menempatkan guru sebagai buruh !!!


Dengan dihapusnya atau tidak tercantumnya Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan maka ini berarti bahwasanya profesi Guru tidak lagi dipandang sebagai jabatan profesional dan karena itu tidak diperlukan lagi seorang guru harus disiapkan melalui pendidikan profesi. Ini berarti, Presiden telah mengabaikan ketentuan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UURI Nomor 20/2003) serta Undang-Undang Guru dan Dosen (UU RI Nomor 14/2005). Pasal 40 UU No. 20 Tahun 2003 tegas-tegas menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja serta pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas. Ini artinya mau tidak mau, profesi guru tetap harus dikelola secara tersendiri dalam suatu sistem. Bukan diabaikan atau apalagi hanya dianggap sebagai sekedar buruh dari suatu sistem.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy