Dalam hubungan antara klien dengan advokat terkadang tidak tertutup kemungkinan klien mempergunakan haknya untuk mencabut pemberian kuasa secara sepihak. Yach, kalau pencabutan kuasa tersebut dibicarakan terlebih dahulu, terkadang yang menyakitkan adalah si klien mencabutnya tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan si advokatnya. Ini jelas bentuk ketidakpastian dan kesewenangan pemberi kuasa (klien).
Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan hukum memperkenankan adanya surat kuasa yang berjudul KUASA MUTLAK.
Kuasa mutlak memuat penegasan klausul seperti "tidak bisa dicabut kembali oleh pemberi kuasa" atau "meninggalnya pemberi kuasa tidak mengakhiri kuasa".
Diperkenankannya membuat suat kuasa mutlak didasarkan atas prinsip kebebasan berkontrak yang diatur pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini mengajarkan, para pihak bebas mengatur persetujuan yang mereka kehendaki sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan :
a. hukum dan perundang-undangan,
b. moral, kepatutan dan agama,
c. Kepentingan umum.
Namun demikian perlu diingat tentang adanya Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 yang pada pokoknya secara jelas dan tegas melarang Notaris dan PPAT memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual-beli tanah
Pa mohon pendapat,
BalasHapuskami adalah sebagai pembeli aset lelang bank pada tahun 1980 , dan telah dibalik namakan. Namun pemilik asal tanah tersebut menggugat kami cs (debitur, bank, kpknl, bpn, kami) dengan dalih beliau melakukan perjanjian ikatan jual -beli tanah dengan debitur dan memberikan surat kuasa mutlak pada debitur tersebut tahun 1975 di hadapan notaris, tapi tidak ikut serta dalam pengikatan akad kredit ke bank. Pertanyaanya apakah instruksi Mendagri no.14 Tahun 1982 tgl 6 Maret 1982 berlaku surut ? Bisakah majelis hakim mempertimbangkan peraturan tersebut dimana surat kuasa mutlak dibuat jauh sebelum peraturan berlaku? Terima kasih