Dalam suatu surat hibah wasiat, terkadang ditemukan fakta-fakta yang diluar dugan para ahli waris seperti pernyataan si pewaris yang menghendaki bagian waris untuk anak pertama lebih besar dibandingkan anak yang lain atau bagian si anak perempuan lebih kecil dibandingkan bagian ahli waris anak laki-laki dan sebagainya. Contoh konkritnya adalah sebagai berikut :
“saya hibah wasiatkan :
Sebanyak 28 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak laki-laki pertama ….
Sebanyak 27 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak laki-laki kedua …
Sebanyak 27 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak laki-laki ketiga …
Sebanyak 9 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak perempuan keempat …
Sebanyak 9 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak perempuan kelima …”
Bayangkan jika hibah wasiat tersebut dilaksanakan, tentunya akan ada salah satu pihak yang merasa tidak diperlakukan adil oleh si pewasiat tersebut yang notabene adalah orangtuanya. Penetapan bagian hibahwasiat seperti contoh diatas tentunya dapat menimbulkan perpecahan diantara para ahli waris. Alih-alih untuk menghindarkan warisan jatuh ketangan orang/ pihak lain yang tidak dikehendaki, si pewasiat malah akan memecah belah nilai-nilai dan arti dari persaudaran diantara para ahli warisnya.
Ketentuan penetapan hibah wasiat seperti contoh di atas secara pastinya akan menyinggung bagian mutlak (legitime portie) masing-masing ahli waris dan yang paling jelas, hibah wasiat tersebut telah mengabaikan ketentuan-ketentuan umum tentang surat wasiat sebagaimana diatur dalam bab 13 (tiga belas) KUHPerdata.
Secara hukum, pernyatan seorang pewaris dalam hibah wasiat yang demikian memang diperkenankan. Hal ini sesuai dengan pengertian yang dimaksud dengan hibah wasiat secara hukum yakni penetapan wasiat yang khusus dimana si pewaris memberikan beberapa barangnya atau seluruh atau sebagian hartanya kepada seseorang atau lebih (Pasal 957 KUHPerdata) dan orangtua diperbolehkan dengan surat wasiat untuk menghibahwasiatkan seluruh atau sebagian harta kekayaan mereka kepada salah seorang atu lebih anak-anak mereka (Pasal 973 KUHPerdata).
Terlepas dari ketentuan hukum yang memperkenankan demikian seperti di atas, meskipun penetapan hibah wasiat merupakan kehendak khusus dari si pewaris bukan berarti dapat menyampingkan begitu saja ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak para ahli waris, baik yang diatur oleh undang-undang maupun berdasarkan kesusilaan (Pasal 891 KUHPerdata). Jika dalam wasiat hibah ternyata tenyata telah menyampingkan Undang-Undang atau kesusilaan maka bagi ahli waris yang merasa dirugikan dapat meminta pembatalan hibah wasiat tersebut kepada Pengadilan.
Pasal 890 KUHPerdata menyatakan secara tegas bahwa penyebutan akan suatu alas sebab, baik yang sungguh-sungguh maupun yang palsu, namun bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik, mengakibatkan batalnya pengangkatan waris atau pemberian hibah. Pasal 852 KUHPerdata menegaskan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orangtua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu. Terkait dengan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan, Pasal 857 KUHPerdata menyatakan bahwa dalam pembagian waris antara bagian para saudara laki dan perempuan, dilakukan diantara mereka dalam bagian-bagian yang sama, jika mereka berasal dari perkawinan yang sama.
“saya hibah wasiatkan :
Sebanyak 28 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak laki-laki pertama ….
Sebanyak 27 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak laki-laki kedua …
Sebanyak 27 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak laki-laki ketiga …
Sebanyak 9 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak perempuan keempat …
Sebanyak 9 % dari seluruh harta peninggalan saya untuk anak perempuan kelima …”
Bayangkan jika hibah wasiat tersebut dilaksanakan, tentunya akan ada salah satu pihak yang merasa tidak diperlakukan adil oleh si pewasiat tersebut yang notabene adalah orangtuanya. Penetapan bagian hibahwasiat seperti contoh diatas tentunya dapat menimbulkan perpecahan diantara para ahli waris. Alih-alih untuk menghindarkan warisan jatuh ketangan orang/ pihak lain yang tidak dikehendaki, si pewasiat malah akan memecah belah nilai-nilai dan arti dari persaudaran diantara para ahli warisnya.
Ketentuan penetapan hibah wasiat seperti contoh di atas secara pastinya akan menyinggung bagian mutlak (legitime portie) masing-masing ahli waris dan yang paling jelas, hibah wasiat tersebut telah mengabaikan ketentuan-ketentuan umum tentang surat wasiat sebagaimana diatur dalam bab 13 (tiga belas) KUHPerdata.
Secara hukum, pernyatan seorang pewaris dalam hibah wasiat yang demikian memang diperkenankan. Hal ini sesuai dengan pengertian yang dimaksud dengan hibah wasiat secara hukum yakni penetapan wasiat yang khusus dimana si pewaris memberikan beberapa barangnya atau seluruh atau sebagian hartanya kepada seseorang atau lebih (Pasal 957 KUHPerdata) dan orangtua diperbolehkan dengan surat wasiat untuk menghibahwasiatkan seluruh atau sebagian harta kekayaan mereka kepada salah seorang atu lebih anak-anak mereka (Pasal 973 KUHPerdata).
Terlepas dari ketentuan hukum yang memperkenankan demikian seperti di atas, meskipun penetapan hibah wasiat merupakan kehendak khusus dari si pewaris bukan berarti dapat menyampingkan begitu saja ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak para ahli waris, baik yang diatur oleh undang-undang maupun berdasarkan kesusilaan (Pasal 891 KUHPerdata). Jika dalam wasiat hibah ternyata tenyata telah menyampingkan Undang-Undang atau kesusilaan maka bagi ahli waris yang merasa dirugikan dapat meminta pembatalan hibah wasiat tersebut kepada Pengadilan.
Pasal 890 KUHPerdata menyatakan secara tegas bahwa penyebutan akan suatu alas sebab, baik yang sungguh-sungguh maupun yang palsu, namun bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik, mengakibatkan batalnya pengangkatan waris atau pemberian hibah. Pasal 852 KUHPerdata menegaskan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orangtua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu. Terkait dengan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan, Pasal 857 KUHPerdata menyatakan bahwa dalam pembagian waris antara bagian para saudara laki dan perempuan, dilakukan diantara mereka dalam bagian-bagian yang sama, jika mereka berasal dari perkawinan yang sama.
iyah mas bagus artikelnya biar engga pada ribut soal warisan kan udah ada aturanya..hheee..salam kenal
BalasHapusTua Advokatku,
BalasHapuspertimbangan Tuan ada benarnya … tapi jangan lupa bahwa dalam hibah wasiat ada “hal yang bersifat sangat subyektif" yang dibolehkan oleh BW, dan hal ini adalah hak mutlak Pewaris (957 BW). Inilah yang menjadi batu sandungan untuk menggugat bentuk hibah wasiat seperti di atas. Secara formil ilustrasi hibah wasiat Tuan Advokatku sangat mudah untuk dicerna nilai ketidakadilannya, Tuan sepertinya lupa bahwa mungkin saja hibah wasiat seperti itu dilandasi oleh realitas lain yang dirasakan oleh Pewaris selama mengurus anak-anaknya………………..
Salam kenal………..
maulana hidayat
Hibah warisan dan wasiat ada perbedaan
BalasHapus