Langsung ke konten utama
loading...

KEANGKUHAN JATI DIRI ADVOKAT DALAM WADAH TUNGGAL


Dari perseteruan dua organisasi advokat, KAI dan PERADI yang pada akhirnya berujung pertengkaran di Gedung Mahkamah Agung rasanya telah menunjukkan secara jelas dan tegas tentang keangkuhan sebagai jati diri para Advokat yang berseteru tersebut. Klaim mengklaim dari mereka bahwa organisasinyalah yang paling berhak menyandang wadah tunggal pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa Advokat adalah profesi yang sulit diatur.

Sejarah telah mencatat konflik-konflik kepentingan pribadi kerap mewarnai organisasi-organisasi Advokat. Hujat menghujat yang berawal dari ketidaksukaan antar pribadi – pribadi berkembang dengan pengaruh mempengaruhi pada rekan-rekan sejawatnya. Mungkin hal itu lumrah dan biasa dalam suatu organisasi yang berbasis pada sistem keanggotaan. Namun hal itu tidak menjadi lumrah dan biasa jika organisasi tersebut dibentuk atas dasar suatu Undang-Undang.

Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat secara jelas dan tegas menyatakan bahwa dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut seharusnya organisasi-organisasi Advokat yang ada sebelum Undang-Undang tentang Advokat diterbitkan sudah menjadi satu dalam kesatuan wadah tunggal dan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun maka yang diakui hanyalah 1 (satu) wadah tunggal. Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) tersebut tidak ada lagi pengakuan-pengakuan baik secara de jure maupun secara de facto terhadap suatu organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan undang-undang advokat.

Ironisnya fakta-fakta aturan hukum yang tersirat dari UU Advokat tersebut di atas pada akhirnya diingkari oleh segelintir Advokat. Atas dasar kebebasan berserikat, berkumpul atau mengeluarkan pendapat, mereka seolah-olah telah bertindak untuk kepentingan profesi. Naifnya lagi, mereka melakukan ujian-ujian terhadap para calon Advokat yang tentu saja pada akhirnya dapat diasumsikan sebagai upaya mencari penggalangan dukungan sebagai organisasi advokat. Ini tentunya akan menjadi runyam dan membuat permasalahan semakin kompleks, baik secara internal maupun eksternal organisasi advokat yang ada.

Tulisan ini tidak berkehendak untuk memberikan dukungan antara satu organisasi dengan organisasi advokat yang lain. Tulisan ini hanya untuk mengingatkan para Advokat yang berseteru untuk kembali pada aturan Pasal 32 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2003 sebagai dasar terbentuknya wadah tunggal bagi profesi Advokat. Rasanya tidak akan pernah elegant bila Advokat hanya berseteru pada permasalahan siapa yang layak menyandang wadah tunggal Advokat, lebih baik berseteru sejauhmana pengakuan elemen-elemen penegak hukum lain terhadap profesi Advokat sebagai penegak hukum.

Komentar

  1. Anonim6:17 PM

    yap betul , memang memalukan kejadian ini , lebih lebih lagi Mahkamah Agung gak tegas , kalo gak salah itu khan saat itu mau pengangkatan sumpah advokat dari KAI khan, kenapa juga MA ragu2 ? kenapa pula lembaga pengawal UU tsb tidak bisa bertindak tegas ?

    trus tu kelanjutannya bagaimana mas wahyu ? apakah jadi di angkat sumpahnya pa gak tu advokat advokat dari kai ? and dulu yg kai dilaporkan ke kepolisian akhirnya gmana ya ? kok gak ada kabarnya lagi

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy