sistem hukum Indonesia saat ini, penulis cenderung berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem hukum campuran atau yang lebih dikenal disebut mixed legal system.
Model mixed legal system atau sistem hukum campuran dapat terjadi karena sejarah pengaruh hukum asing dalam hukum lokal yang dianut oleh negara tersebut atau dapat pula terjadi karena pengaruh dari hukum internasional yang diadopsi oleh negara sebagai bagian dari komunitas internasional (translokasi hukum/ translocation of laws atau transplantasi hukum/ legal transplants).
Kendati banyak negara menerapkan model mixed legal system, namun antara satu dengan lainnya berbeda-beda variasinya. Bukan sekadar varian substantif dari sistem-sistem yang menjadi campuran, tetapi juga pola struktur dan kecenderungan budaya hukumnya. Variasi sistem-sistem hukum itu bisa dalam suatu dominasi satu sistem terhadap sistem hukum yang berlaku lainnya atau juga dapat berupa bentuk yang lain yakni beberapa sistem hukum diperlakukan secara bersamaan dengan konsep harmonisasi.
Sekali lagi, penulis katakan, dikaitkan dengan kondisi pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia maka sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum campuran (mixed legal system) dengan sistem hukum utamanya yaitu sistem hukum Eropa Kontinental (Romano-Germanic Legal System atau disebut juga Hukum Sipil/ Civil Law). Sistem hukum yang lebih mengarah kepada sistem hukum eropa kontinental tersebut dilatarbelakangi hubungan sejarah Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, dimana sistem hukum yang dianut negeri Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontintal.
Selain berdasarkan pada sejarah pengaruh hukum asing di atas, dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum campuran adalah dikarenakan beberapa hal seperti :
1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
4. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Misalnya peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri, peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan lain sebagainya.
5. Masuknya pengaruh hukum asing (foreign law) yang bersumber dari tradisi common law. Dalam hal ini banyak bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan hukum ekonomi (economic law). Ketentuan-ketentuan UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai misal telah mengadopsi lembaga hukum yang bersumber dari tradisi common law tersebut. Contoh lain dapat dikemukakan atas keberadaan UU Kepailitan, UU Antimonopoli, juga sejumlah undang-undang HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).
Dianutnya sistem hukum campuran oleh negara Indonesia, yang secara umum berkarakter asli tradisi civil law (civilian in origin), diperkaya dengan prinsip-prinsip common law, hukum Islam, dan hukum adat sejalan dengan pandangan Soetandyo Wignjosoebroto[1] yang menyatakan bahwa adopsi unsur-unsur hukum asing dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris tentu saja mungkin, akan tetapi konfigurasi atau pola sistemiknya yang Eropa itu tidaklah mungkin dibongkar sama sekali. Hal ini dapat dimengerti karena sistem Eropa Kontinental (civil law), telah tersosialisasi secara berterusan dan telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH juga mengakui tentang sistem hukum campuran yang dianut dan dikembangkan Indonesia yang menurutnya secara historis, sistem hukum nasional Indonesia seperti dikenal saat ini memang sudah sejak lama bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, ditambah dengan praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia internasional[2].
Kondisi sistem hukum campuran yang dianut dan dipratekkan di Indonesia tidak terlepas dari pengakuan dan penghormatan UUD 1945 terhadap pluralisme hukum yang telah lama hidup dalam masyarakat[3]. Kata plural dalam konteks ini adalah suatu ungkapan yang menunjukan kepada sesuatu yang banyak, atau adanya keanekaragmaan dan perbedaan. Keanekaragaman disebut adakalanya mengacu pada adanya perbedaan latar belakang masyarakat dari segi suku bangsa, budaya, maupun agama yang dianut dalam suatu bangsa dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bersama, di Indonesia terdapat bermacam-macam suku, ras, agama, kebudayaan, hukum dan lain-lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa Indonesia.
Keaneka ragaman tetapi satu bangsa tersebut menjelma pada semboyan negara yang terkenal yaitu, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya bermacam-macam tapi satu jua. Dengan kondisi yang berbeda-beda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain maka sangatlah sulit jika hanya menerapkan satu sistem hukum. Oleh karena itu, terlepas dari pro dan kontra, upaya-upaya pengakuan pluralisme hukum di Indonesia tetap harus terus diakui dan dikembangkan oleh Pemerintah[4].
Model mixed legal system atau sistem hukum campuran dapat terjadi karena sejarah pengaruh hukum asing dalam hukum lokal yang dianut oleh negara tersebut atau dapat pula terjadi karena pengaruh dari hukum internasional yang diadopsi oleh negara sebagai bagian dari komunitas internasional (translokasi hukum/ translocation of laws atau transplantasi hukum/ legal transplants).
Kendati banyak negara menerapkan model mixed legal system, namun antara satu dengan lainnya berbeda-beda variasinya. Bukan sekadar varian substantif dari sistem-sistem yang menjadi campuran, tetapi juga pola struktur dan kecenderungan budaya hukumnya. Variasi sistem-sistem hukum itu bisa dalam suatu dominasi satu sistem terhadap sistem hukum yang berlaku lainnya atau juga dapat berupa bentuk yang lain yakni beberapa sistem hukum diperlakukan secara bersamaan dengan konsep harmonisasi.
Sekali lagi, penulis katakan, dikaitkan dengan kondisi pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia maka sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum campuran (mixed legal system) dengan sistem hukum utamanya yaitu sistem hukum Eropa Kontinental (Romano-Germanic Legal System atau disebut juga Hukum Sipil/ Civil Law). Sistem hukum yang lebih mengarah kepada sistem hukum eropa kontinental tersebut dilatarbelakangi hubungan sejarah Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, dimana sistem hukum yang dianut negeri Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontintal.
Selain berdasarkan pada sejarah pengaruh hukum asing di atas, dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum campuran adalah dikarenakan beberapa hal seperti :
1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
4. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Misalnya peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri, peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan lain sebagainya.
5. Masuknya pengaruh hukum asing (foreign law) yang bersumber dari tradisi common law. Dalam hal ini banyak bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan hukum ekonomi (economic law). Ketentuan-ketentuan UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai misal telah mengadopsi lembaga hukum yang bersumber dari tradisi common law tersebut. Contoh lain dapat dikemukakan atas keberadaan UU Kepailitan, UU Antimonopoli, juga sejumlah undang-undang HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).
Dianutnya sistem hukum campuran oleh negara Indonesia, yang secara umum berkarakter asli tradisi civil law (civilian in origin), diperkaya dengan prinsip-prinsip common law, hukum Islam, dan hukum adat sejalan dengan pandangan Soetandyo Wignjosoebroto[1] yang menyatakan bahwa adopsi unsur-unsur hukum asing dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris tentu saja mungkin, akan tetapi konfigurasi atau pola sistemiknya yang Eropa itu tidaklah mungkin dibongkar sama sekali. Hal ini dapat dimengerti karena sistem Eropa Kontinental (civil law), telah tersosialisasi secara berterusan dan telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH juga mengakui tentang sistem hukum campuran yang dianut dan dikembangkan Indonesia yang menurutnya secara historis, sistem hukum nasional Indonesia seperti dikenal saat ini memang sudah sejak lama bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, ditambah dengan praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia internasional[2].
Kondisi sistem hukum campuran yang dianut dan dipratekkan di Indonesia tidak terlepas dari pengakuan dan penghormatan UUD 1945 terhadap pluralisme hukum yang telah lama hidup dalam masyarakat[3]. Kata plural dalam konteks ini adalah suatu ungkapan yang menunjukan kepada sesuatu yang banyak, atau adanya keanekaragmaan dan perbedaan. Keanekaragaman disebut adakalanya mengacu pada adanya perbedaan latar belakang masyarakat dari segi suku bangsa, budaya, maupun agama yang dianut dalam suatu bangsa dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bersama, di Indonesia terdapat bermacam-macam suku, ras, agama, kebudayaan, hukum dan lain-lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa Indonesia.
Keaneka ragaman tetapi satu bangsa tersebut menjelma pada semboyan negara yang terkenal yaitu, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya bermacam-macam tapi satu jua. Dengan kondisi yang berbeda-beda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain maka sangatlah sulit jika hanya menerapkan satu sistem hukum. Oleh karena itu, terlepas dari pro dan kontra, upaya-upaya pengakuan pluralisme hukum di Indonesia tetap harus terus diakui dan dikembangkan oleh Pemerintah[4].
**************************
[1] Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
[2] Makalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September, 2000.
[3] Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Dalam ayat (2) dinyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
[4] Pluralisme hukum (Keanekaragaman hukum) adalah, memberlakukan bermacam-macam (lebih dari satu) hukum tertentu kepada semua rakyat negara tertentu. Lawan katanya unifikasi hukum yang artinya adalah, memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat di negara tertentu. Jika suatu hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi maka, di negara itu hanya berlaku satu macam hukum tertentu, dan tidak berlaku bermacam-macam hukum.
[1] Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
[2] Makalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September, 2000.
[3] Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Dalam ayat (2) dinyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
[4] Pluralisme hukum (Keanekaragaman hukum) adalah, memberlakukan bermacam-macam (lebih dari satu) hukum tertentu kepada semua rakyat negara tertentu. Lawan katanya unifikasi hukum yang artinya adalah, memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat di negara tertentu. Jika suatu hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi maka, di negara itu hanya berlaku satu macam hukum tertentu, dan tidak berlaku bermacam-macam hukum.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id