Memahami dan berupaya untuk mengerti tentang visi, misi dan arah kebijakan Pemerintah dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Napza, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA & UU No. 5/1997 tentang PSIKOTROPIKA, rasanya sangat sulit mengingat ada 2 kepentingan yang harus diadopsi oleh Pemerintah dalam 1 (satu) kebijakan yakni disatu sisi Pemerintah berupaya menjamin ketersediaan NAPZA untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan sementara disisi lain Pemerintah juga harus berupaya melakukan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Napza.
Dari 2 (dua) peran yang harus dijalankan sekaligus tersebut pada akhirnya Pemerintah terbentur pula pada masalah persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dari ketentuan-ketentuan yang diaturnya dan harmonisasi eksternal (internasional/global) yakni penyesuaian perumusan pasal-pasal tindak pidana NAPZA dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan substansi United Nation Convention Againts Illicit Traffict in Narcotic Drugs and Psychotropic Subs- tances tahun 1988 yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU Nomor 7 tahun 1997 dan UU Nomor 8 Tahun 1996 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Psikotropika.
Dari persoalan harmonisasi diatas pada akhirnya mau tidak mau telah menunjukkan bahwasanya Pemerintah telah memperlakukan kebijakan kriminalisasi bagi masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Napza.
Metode Penafsiran :
Bagi praktisi hukum, dalam hal ini catur wangsa (Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian dan Advokat), menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
a. Kapan dan bagaimana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapinnya telah ada dan telah jelas. Jika telah ada dan jelas maka tinggal menerapkan ketentuan tersebut;
b. Kapan dan bagaimana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapinnya telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya. Dalam hal ini praktisi hukum dituntut melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapinnya tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang harus ditempuh adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
(1) Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale interpretatie) atau metode obyektif yakni menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang apa adanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
(2) Interpretasi Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan (sistem hukum).
(3) Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang (wetshistorisch, penafsiran subyektif).
(4) Interpretasi Teleologis (sosiologis), menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini.
(5) Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara.
(6) Interpretasi antisipatif (futusritis), menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat (ius constituendum), misalnya rancangan undang-undang.
(7) Interpretasi Restriktif, penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
(8) Interpretasi ekstensif, menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah (pengertian) yang terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu, praktisi hukum dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
(1) materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan;
(2) tempat dimana perkara yang dihadapkan;
(3) zaman perkara yang dihadapkan.
Permasalahan :
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.
Kebijakan kriminalisasi dalam UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA & UU No. 5/1997 tentang PSIKOTROPIKA dapat dilihat dalam contoh pasal sebagai berikut :
* PERAN SERTA MASYARAKAT
UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA :
“Pasal 57 :
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
UU No. 5/1997 tentang PSIKOTROPIKA :
Pasal 54 :
(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk ber-peran serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.”
Dari susunan redaksi pasal di atas terlihat jelas dan tegas Pemerintah berusaha menghilangkan pandangan bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA bukan hanya masalah Pemerintah saja, tetapi merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama. Sayangnya, peran masyarakat tersebut menjadi wajib. Padahal, kata “wajib” jika diharmonisasikan dalam ranah hukum pidana yang bersifat mengatur maka kata “wajib” tersebut mengandung arti “hukuman”. Artinya, secara kebijakan kriminalisasi, Pemerintah dengan media hukum pidana-nya dapat menghukum anggota masyarakat yang dianggap tidak mendukung kebijakannya dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA.
* UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA :
“Pasal 66 :
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.”
Penyadapan pembicaraan ini merupakan penambahan kewenangan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam konteks tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana adalah patut seorang penyidik melakukan penyadapan.
Menjadi masalah dari unsur pasal 66 diatas adalah tindakan penyadapan terhadap orang yang membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika. Mengingat dalam penjelasannya Pasal 66 tidak membahas tentang penjelasan “pembicaran masalah” seperti apa yang dapat disadap, maka jika ditafsirkan menurut metode Interpretasi Gramatikal dan Interpretasi Restriktif, hal ini menjadi dualisme tersendiri bagi masyarakat awam. Satu sisi masyarakat dituntut untuk berperan dan membantu Pemerintah dalam mencegah dan memberantas NAPZA ilegal, disisi lain tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindak pidana.
“Pasal 87:
Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Unsur memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan dalam Pasal 87 di atas merupakan unsur pasal menyangkut ketentuan batasan tindak pidana narkotika. Melalui Interpretasi Sistematis (Logis) dan Interpretasi antisipatif (futusritis), jika unsur pasal tersebut dikaitkan dengan kebijakan nasional penanggulan HIV dan Aids melalui pengurangan dampak buruk penggunaan narkotika psikotropika dan zat adiktif suntik sebagaimana diatur dalam Permenkokesra No. 02/Per/Menko/Kesra/2007, maka secara jelas dan tegas pasal 87 tersebut dapat dijadikan alasan penyidik (Kepolisian) untuk mempidanakan masyarakat.
Kesemua contoh adalah contoh dimana isi ketentuan UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA & UU No. 5/1997 tentang PSIKOTROPIKA diharmonisasikan dengan secara internal. Ketika kita akan mengharmonisasikan secara external yakni dengan mengkaitkan isi subtansi United Nation Convention Againts Illicit Traffict in Narcotic Drugs and Psychotropic Subs- tances tahun 1988 yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU Nomor 7 tahun 1997 dan UU Nomor 8 Tahun 1996 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Psikotropika, maka akan ditemukan ganjalan-ganjalan sebagai berikut :
Pembahasan :
Kriminalisasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Napza ilegal merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Kriminilisasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Napza ilegal pada akhirnya hanya menimbulkan persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik.
Melihat penyebab kebijakan kriminalisasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Napza ilegal, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kriminalisasi masyarakat akan me-lembaga dan akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki.Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat.
Dari 2 (dua) peran yang harus dijalankan sekaligus tersebut pada akhirnya Pemerintah terbentur pula pada masalah persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dari ketentuan-ketentuan yang diaturnya dan harmonisasi eksternal (internasional/global) yakni penyesuaian perumusan pasal-pasal tindak pidana NAPZA dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan substansi United Nation Convention Againts Illicit Traffict in Narcotic Drugs and Psychotropic Subs- tances tahun 1988 yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU Nomor 7 tahun 1997 dan UU Nomor 8 Tahun 1996 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Psikotropika.
Dari persoalan harmonisasi diatas pada akhirnya mau tidak mau telah menunjukkan bahwasanya Pemerintah telah memperlakukan kebijakan kriminalisasi bagi masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Napza.
Metode Penafsiran :
Bagi praktisi hukum, dalam hal ini catur wangsa (Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian dan Advokat), menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
a. Kapan dan bagaimana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapinnya telah ada dan telah jelas. Jika telah ada dan jelas maka tinggal menerapkan ketentuan tersebut;
b. Kapan dan bagaimana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapinnya telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya. Dalam hal ini praktisi hukum dituntut melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapinnya tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang harus ditempuh adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
(1) Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale interpretatie) atau metode obyektif yakni menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang apa adanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
(2) Interpretasi Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan (sistem hukum).
(3) Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang (wetshistorisch, penafsiran subyektif).
(4) Interpretasi Teleologis (sosiologis), menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini.
(5) Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara.
(6) Interpretasi antisipatif (futusritis), menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat (ius constituendum), misalnya rancangan undang-undang.
(7) Interpretasi Restriktif, penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
(8) Interpretasi ekstensif, menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah (pengertian) yang terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu, praktisi hukum dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
(1) materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan;
(2) tempat dimana perkara yang dihadapkan;
(3) zaman perkara yang dihadapkan.
Permasalahan :
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.
Kebijakan kriminalisasi dalam UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA & UU No. 5/1997 tentang PSIKOTROPIKA dapat dilihat dalam contoh pasal sebagai berikut :
* PERAN SERTA MASYARAKAT
UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA :
“Pasal 57 :
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
UU No. 5/1997 tentang PSIKOTROPIKA :
Pasal 54 :
(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk ber-peran serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.”
Dari susunan redaksi pasal di atas terlihat jelas dan tegas Pemerintah berusaha menghilangkan pandangan bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA bukan hanya masalah Pemerintah saja, tetapi merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama. Sayangnya, peran masyarakat tersebut menjadi wajib. Padahal, kata “wajib” jika diharmonisasikan dalam ranah hukum pidana yang bersifat mengatur maka kata “wajib” tersebut mengandung arti “hukuman”. Artinya, secara kebijakan kriminalisasi, Pemerintah dengan media hukum pidana-nya dapat menghukum anggota masyarakat yang dianggap tidak mendukung kebijakannya dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA.
* UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA :
“Pasal 66 :
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.”
Penyadapan pembicaraan ini merupakan penambahan kewenangan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam konteks tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana adalah patut seorang penyidik melakukan penyadapan.
Menjadi masalah dari unsur pasal 66 diatas adalah tindakan penyadapan terhadap orang yang membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika. Mengingat dalam penjelasannya Pasal 66 tidak membahas tentang penjelasan “pembicaran masalah” seperti apa yang dapat disadap, maka jika ditafsirkan menurut metode Interpretasi Gramatikal dan Interpretasi Restriktif, hal ini menjadi dualisme tersendiri bagi masyarakat awam. Satu sisi masyarakat dituntut untuk berperan dan membantu Pemerintah dalam mencegah dan memberantas NAPZA ilegal, disisi lain tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindak pidana.
“Pasal 87:
Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Unsur memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan dalam Pasal 87 di atas merupakan unsur pasal menyangkut ketentuan batasan tindak pidana narkotika. Melalui Interpretasi Sistematis (Logis) dan Interpretasi antisipatif (futusritis), jika unsur pasal tersebut dikaitkan dengan kebijakan nasional penanggulan HIV dan Aids melalui pengurangan dampak buruk penggunaan narkotika psikotropika dan zat adiktif suntik sebagaimana diatur dalam Permenkokesra No. 02/Per/Menko/Kesra/2007, maka secara jelas dan tegas pasal 87 tersebut dapat dijadikan alasan penyidik (Kepolisian) untuk mempidanakan masyarakat.
Kesemua contoh adalah contoh dimana isi ketentuan UU No. 22/1997 tentang NARKOTIKA & UU No. 5/1997 tentang PSIKOTROPIKA diharmonisasikan dengan secara internal. Ketika kita akan mengharmonisasikan secara external yakni dengan mengkaitkan isi subtansi United Nation Convention Againts Illicit Traffict in Narcotic Drugs and Psychotropic Subs- tances tahun 1988 yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU Nomor 7 tahun 1997 dan UU Nomor 8 Tahun 1996 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Psikotropika, maka akan ditemukan ganjalan-ganjalan sebagai berikut :
Pembahasan :
Kriminalisasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Napza ilegal merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Kriminilisasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Napza ilegal pada akhirnya hanya menimbulkan persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik.
Melihat penyebab kebijakan kriminalisasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Napza ilegal, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kriminalisasi masyarakat akan me-lembaga dan akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki.Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat.
* Ini adalah materi workshop untuk penyadaran hukum bagi para pecandu ... thanks to STIGMA .... Go To Fight !!!
yup.. memang inilah negara kita. Korban malah semain dikorbankan...
BalasHapusPolisi menjadi pelindung kepentingan negara bukan masyarakat.
set ajegile panjang bener postingnya om....
BalasHapusJust remember one thing..
BalasHapus"Nothing about Us,
Without Us"