Membahas tentang pernikahan siri mungkin akan berujung pada penjelasan akibat dari pernikahan itu sendiri dimana secara tegas dan jelas menyatakan tidak adanya kepastian hukum atas status serta hak si Istri. Ini karena perkawinan tersebut tidak diakui oleh hukum negara, meskipun secara agama dianggap sah. Efek lain dari perkawinan siri tentu saja adalah masalah hak anak dari perkawinan tersebut.
Menurut saya, sepertinya masyarakat salah persepsi tentang hak anak hasil perkawinan siri. Di masyarakat, secara awam seakan-akan telah men-judge bahwa anak hasi perkawinan siri tidak memiliki status yang jelas. Ini tentu saja tidak benar. Hukum tetap meng-akomodir tentang hak-hak anak hasil perkawinan siri. Faktanya, memang kerap ditemukan suami yang mengabaikan hak-hak anak hasil perkawinan siri. Dengan dalih dan argumentasi yang NORAK, umumnya mereka berdalih perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi di pencatatan perkawinan dan asal-usul anak tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Ingat, perkawinan siri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan dari si anak itu sendiri.
Atas dasar perlindungan kepentingan dan hak anak, istri dalam perkawinan siri dapat menuntut pertanggungjawaban si suami. Pasal 13 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK pada pokoknya menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1. diskriminasi;
2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3. penelantaran;
4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
5. ketidakadilan; dan
6. perlakuan salah lainnya.
Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud di atas, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bagaimana dengan pembuktian identitas si anak ? meskipun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak mensyaratkan adanya akte kelahiran dalam pembuktian asal-usul anak, hal tersebut tidaklah mutlak. Beban pembuktian asal-usul dan identitas anak hasil perkawinan siri terletak pada si Ibu dan mereka-mereka yang mengetahui persis adanya perkawinan siri antara si Ibu dan si Bapak anak tersebut. Akan lebih baik dan akurat, jika bisa membuktikan adanya hubungan darah antara si anak dengan orangtuanya melalui uji DNA. (tapi ini tidak disaran, mengingat biayanya yang sangat mahal).
Menurut saya, sepertinya masyarakat salah persepsi tentang hak anak hasil perkawinan siri. Di masyarakat, secara awam seakan-akan telah men-judge bahwa anak hasi perkawinan siri tidak memiliki status yang jelas. Ini tentu saja tidak benar. Hukum tetap meng-akomodir tentang hak-hak anak hasil perkawinan siri. Faktanya, memang kerap ditemukan suami yang mengabaikan hak-hak anak hasil perkawinan siri. Dengan dalih dan argumentasi yang NORAK, umumnya mereka berdalih perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi di pencatatan perkawinan dan asal-usul anak tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Ingat, perkawinan siri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan dari si anak itu sendiri.
Atas dasar perlindungan kepentingan dan hak anak, istri dalam perkawinan siri dapat menuntut pertanggungjawaban si suami. Pasal 13 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK pada pokoknya menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1. diskriminasi;
2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3. penelantaran;
4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
5. ketidakadilan; dan
6. perlakuan salah lainnya.
Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud di atas, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bagaimana dengan pembuktian identitas si anak ? meskipun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak mensyaratkan adanya akte kelahiran dalam pembuktian asal-usul anak, hal tersebut tidaklah mutlak. Beban pembuktian asal-usul dan identitas anak hasil perkawinan siri terletak pada si Ibu dan mereka-mereka yang mengetahui persis adanya perkawinan siri antara si Ibu dan si Bapak anak tersebut. Akan lebih baik dan akurat, jika bisa membuktikan adanya hubungan darah antara si anak dengan orangtuanya melalui uji DNA. (tapi ini tidak disaran, mengingat biayanya yang sangat mahal).
pak wahyu, saya seorang anak korban dari selisih orang tua. Semua bermula ketika terbongkar perselingkuhan ayah saya, dan sekarang sudah pergi dari rumah dan menikah siri. Sudah hampir setahun ayah saya tidak menafkahi saya dan keluarga, sementara kami hidup dari usaha keluarga yaitu tempat kursus yang sekarang kakak saya jalani bersama ibu, tapi sekarang ayah saya ingin mengambil alih tempat kursus tersebut dengan alasan dia pemilik tempat tersebut, saya dan ibu bingung dari manalagi pendapatan untuk kami untuk biaya sekolah dan masa depan saya.
BalasHapusApakah dalam kasus saya tersebut saya bisa menuntut hak saya. mohon pak wahyu penerangannya