Ketika seorang wartawan memuat suatu tulisan tentang suatu kejadian atau kejahatan yang diduga dilakukan oleh seorang pejabat maka ada suatu permasalahan yang kiranya perlu diantisipasio sejauh mana daya kekuatan tulisan tersebut tertanam dalam benak pembacanya dan sejauh mana pula sumber berita atau subjek berita menyikapi tulisan tersebut.
Yang menjadi masalah adalah tentang konfirmasi suatu pemberitaan. Tak Jarang hanya bermodalkan data dari LSM sang wartawan pun melalaikan kewajibannya untuk meminta konfirmasi kepada subjek berita. Wartawan seringkali melakukan konfirmasi untuk sekedar menggugurkan kewajiban, karena itu konfirmasi seringkali diabaikan atau hanya ditulis bahwa narasumber tak dapat dihubungi atau handphone-nya tidak aktif ketika dikonfirmasi. Sial !!
Akibatnya adalah tak jarang wartawan pun dihujanin ancaman, baik dari subjek berita maupun dari pembacanya. Masalah ancaman bagi wartawan ternyata tidak jarang pula adapula ancaman yang berasal dari sang pemodal yang notabene merupakan pemilik media massa. Hal ini tentu saja terkait dengan iklan. Percaya tidak percaya, pers sekarang sudah bersifat oligarkhis, karena ribuan media massa yang ada di Indonesia hanya dimiliki empat orang yakni seorang di Surabaya dan tiga orang di Jakarta, sehingga wartawan mungkin tak ditelepon si subjek berita, tapi ditegur pemodal. :-D
Ke masalah wartawan sebagai mitra strategis dalam suatu pengungkapan dan pemberantasan korupsi kiranya patut dipertimbangkan tentang peranan sang wartawan tersebut mengingat tiada yang lebih strategis dalam pemberantasan korupsi yakni reformasi birokrasi, karena struktur korupsi bersumber dari birokrasi yang mewarisi sistem sejak era kerajaan hingga penjajahan Belanda. Reformasi sudah mulai berjalan, termasuk di kalangan pers, tapi kalangan birokrasi justru "jalan di tempat" akibat struktur korupsi yang sistemik di dalam birokrasi. Ini karena birokrasi kita lahir dari masyarakat yang belum dapat membedakan antara masalah privat dan publik, sehingga mereka mengalami konflik kepentingan, misalnya kasus Lapindo. Karenanya sudah seharusnya pers hendaknya dapat mendorong reformasi di tubuh birokrasi agar terjadi upaya pemberantasan korupsi yang lebih optimal di masa mendatang. Hal yang mungkin dapat dilakukan pers antara lain mendorong pelayanan publik dilakukan dengan satu pintu untuk mengurangi banyak meja, kemudian mendorong pelayanan publik untuk dilakukan dengan kuitansi yang jelas.
Yang menjadi masalah adalah tentang konfirmasi suatu pemberitaan. Tak Jarang hanya bermodalkan data dari LSM sang wartawan pun melalaikan kewajibannya untuk meminta konfirmasi kepada subjek berita. Wartawan seringkali melakukan konfirmasi untuk sekedar menggugurkan kewajiban, karena itu konfirmasi seringkali diabaikan atau hanya ditulis bahwa narasumber tak dapat dihubungi atau handphone-nya tidak aktif ketika dikonfirmasi. Sial !!
Akibatnya adalah tak jarang wartawan pun dihujanin ancaman, baik dari subjek berita maupun dari pembacanya. Masalah ancaman bagi wartawan ternyata tidak jarang pula adapula ancaman yang berasal dari sang pemodal yang notabene merupakan pemilik media massa. Hal ini tentu saja terkait dengan iklan. Percaya tidak percaya, pers sekarang sudah bersifat oligarkhis, karena ribuan media massa yang ada di Indonesia hanya dimiliki empat orang yakni seorang di Surabaya dan tiga orang di Jakarta, sehingga wartawan mungkin tak ditelepon si subjek berita, tapi ditegur pemodal. :-D
Ke masalah wartawan sebagai mitra strategis dalam suatu pengungkapan dan pemberantasan korupsi kiranya patut dipertimbangkan tentang peranan sang wartawan tersebut mengingat tiada yang lebih strategis dalam pemberantasan korupsi yakni reformasi birokrasi, karena struktur korupsi bersumber dari birokrasi yang mewarisi sistem sejak era kerajaan hingga penjajahan Belanda. Reformasi sudah mulai berjalan, termasuk di kalangan pers, tapi kalangan birokrasi justru "jalan di tempat" akibat struktur korupsi yang sistemik di dalam birokrasi. Ini karena birokrasi kita lahir dari masyarakat yang belum dapat membedakan antara masalah privat dan publik, sehingga mereka mengalami konflik kepentingan, misalnya kasus Lapindo. Karenanya sudah seharusnya pers hendaknya dapat mendorong reformasi di tubuh birokrasi agar terjadi upaya pemberantasan korupsi yang lebih optimal di masa mendatang. Hal yang mungkin dapat dilakukan pers antara lain mendorong pelayanan publik dilakukan dengan satu pintu untuk mengurangi banyak meja, kemudian mendorong pelayanan publik untuk dilakukan dengan kuitansi yang jelas.
wah, emang bener mas... sekarang tuh kyknya media lebih banyak ngejar ISU ketimbang fakta... ok lah mungkin itu ada faktanya, tp ya itu "bumbunya" buanyaaak banget, bir makin HOT lah ato apa lah...
BalasHapushmmm...
lam kenal ^_^