Hasil survei Politic and Economic Risk and Consultancy (PERC) terbaru menyebutkan Indonesia naik kelas dalam hal korupsi. Negeri ini bukan lagi yang paling korup di Asia. Mahkota negara paling korup yang disandang selama ini, kini diambil alih Filipina, tetangga di utara Kota Manado. Berita tersebut memang terkesan sebagai kabar baik. Apalagi, PERC menilai kampanye antikorupsi Presiden SBY itu sukses menekan korupsi. Apakah ini membuat kita bangga? Nampaknya, terlalu berlebihan bila bangsa Indonesia berbangga dengan hasil survei itu. Berdasarkan riset tersebut, bukan berarti di Indonesia korupsi semakin sedikit atau semakin mengecil.
Realitas korupsi di Indonesia belum menunjukkan tren surut. Saat SBY gencar kampanye antikorupsi, jantung pemerintahan masih digerogoti tikus korupsi. Buktinya, sejumlah pegawai istana diduga me-mark-up tarif hotel tempat menginap presiden di Cebu, Filipina. Praktik korupsi itu tentu sangat memalukan. Kasus itu menunjukkan bahwa orang Indonesia tak mengenal tempat untuk melakukan korupsi. Tak peduli apakah di tanah air atau di luar negeri. Sepanjang ada kesempatan, praktik korupsi selalu dilakukan. Bahkan, di Filipina, negeri yang disebut saat ini paling korup di Asia, Indonesia juga melakukan korupsi. Karena itu, jangan terlalu berbangga hati bila hasil riset tersebut memaparkan bahwa Filipina lebih korupsi daripada Indonesia. Di daerah juga berderet kasus korupsi. Baik itu di legislatif maupun eksekutif. Modusnya pun bermacam-macam.
Di sejumlah daerah para anggota DPRD digiring ke pengadilan. Para pejabat juga pemerintah daerah harus menghadapi meja hijau, seperti Gubernur Kaltim Suwarna yang kini menjalami proses hukum atau Bupati Dompu, NTB, yang sudah divonis pengadilan. Indikasi lain bahwa cap korupsi di Indonesia tak hilang adalah semakin kuatnya kampanye menyerang gerakan antikorupsi. Sejumlah tersangka dan terpidana korupsi melakukan berbagai upaya untuk melawan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Pengadilan Tipikor. Perlawanan dilakukan lewat kampanye mendiskreditkan maupun berupaya hukum melawan lembaga pemberantasan korupsi. Bahkan, kubu antikorupsi telah sukses lewat jalur hukum untuk ''merontokkan' ' pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor yang dibuat secara khusus untuk mengadili para koruptor itu dinyatakan lemah secara hukum.
Melihat fenomena di tanah air itu bisakah dikatakan Indonesia mengalami kemajuan dalam menekan korupsi? Rasanya belum bisa dikatakan begitu. Banyaknya koruptor yang disidang karena intensitas memburu kasus korupsi meningkat. Tapi, itu bukan berarti perilaku korupsi menurun. Buktinya, semakin giat aparat melakukan operasi, semakin banyak koruptor yang terjaring. Ini seperti semakin giat polisi lalu lintas beroperasi di jalan, semakin banyak yang terkena tilang. Karena itu, jangan sekali-kali merasa bahwa kita telah mampu menekan korupsi. Atau jangan sekali-kali merasa bahwa kita tidak perlu bekerja keras lagi untuk memberantas korupsi. Atau jangan sekali-kali semangat antikorupsi kendur. Hasil riset PERC jangan sampai membuat kita terlena. Justru itu harus dijadikan pemicu baru untuk memburu para koruptor yang masih bergentayangan di segala lini.Padahal semuanya tahu, bahwa korupsi itu dilarang agama, apakah korupsi waktu ataupun uang, namun tetap saja dilanggar. Bahkan tak jarang korupsi dilakukan secara massal, yang lebih dikenal dengan korupsi berjamaah.Semuanya melakukan korupsi, tanpa kecuali mereka yang memburu koruptor pun melakukan korupsi, lebih tepatnya koruptor mengenjar koruptor.***
Realitas korupsi di Indonesia belum menunjukkan tren surut. Saat SBY gencar kampanye antikorupsi, jantung pemerintahan masih digerogoti tikus korupsi. Buktinya, sejumlah pegawai istana diduga me-mark-up tarif hotel tempat menginap presiden di Cebu, Filipina. Praktik korupsi itu tentu sangat memalukan. Kasus itu menunjukkan bahwa orang Indonesia tak mengenal tempat untuk melakukan korupsi. Tak peduli apakah di tanah air atau di luar negeri. Sepanjang ada kesempatan, praktik korupsi selalu dilakukan. Bahkan, di Filipina, negeri yang disebut saat ini paling korup di Asia, Indonesia juga melakukan korupsi. Karena itu, jangan terlalu berbangga hati bila hasil riset tersebut memaparkan bahwa Filipina lebih korupsi daripada Indonesia. Di daerah juga berderet kasus korupsi. Baik itu di legislatif maupun eksekutif. Modusnya pun bermacam-macam.
Di sejumlah daerah para anggota DPRD digiring ke pengadilan. Para pejabat juga pemerintah daerah harus menghadapi meja hijau, seperti Gubernur Kaltim Suwarna yang kini menjalami proses hukum atau Bupati Dompu, NTB, yang sudah divonis pengadilan. Indikasi lain bahwa cap korupsi di Indonesia tak hilang adalah semakin kuatnya kampanye menyerang gerakan antikorupsi. Sejumlah tersangka dan terpidana korupsi melakukan berbagai upaya untuk melawan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Pengadilan Tipikor. Perlawanan dilakukan lewat kampanye mendiskreditkan maupun berupaya hukum melawan lembaga pemberantasan korupsi. Bahkan, kubu antikorupsi telah sukses lewat jalur hukum untuk ''merontokkan' ' pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor yang dibuat secara khusus untuk mengadili para koruptor itu dinyatakan lemah secara hukum.
Melihat fenomena di tanah air itu bisakah dikatakan Indonesia mengalami kemajuan dalam menekan korupsi? Rasanya belum bisa dikatakan begitu. Banyaknya koruptor yang disidang karena intensitas memburu kasus korupsi meningkat. Tapi, itu bukan berarti perilaku korupsi menurun. Buktinya, semakin giat aparat melakukan operasi, semakin banyak koruptor yang terjaring. Ini seperti semakin giat polisi lalu lintas beroperasi di jalan, semakin banyak yang terkena tilang. Karena itu, jangan sekali-kali merasa bahwa kita telah mampu menekan korupsi. Atau jangan sekali-kali merasa bahwa kita tidak perlu bekerja keras lagi untuk memberantas korupsi. Atau jangan sekali-kali semangat antikorupsi kendur. Hasil riset PERC jangan sampai membuat kita terlena. Justru itu harus dijadikan pemicu baru untuk memburu para koruptor yang masih bergentayangan di segala lini.Padahal semuanya tahu, bahwa korupsi itu dilarang agama, apakah korupsi waktu ataupun uang, namun tetap saja dilanggar. Bahkan tak jarang korupsi dilakukan secara massal, yang lebih dikenal dengan korupsi berjamaah.Semuanya melakukan korupsi, tanpa kecuali mereka yang memburu koruptor pun melakukan korupsi, lebih tepatnya koruptor mengenjar koruptor.***
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id