Berawal dengan temuan-temuan ganjil atas mayat terpidana mati Tibo cs publik pun berkomentar pro dan kontra mengenai hukuman mati.
Konon Sejak 1978, Pemerintah Indonesia telah mengeksekusi tidak kurang 38 orang terpidana mati.
Dalam pergaulan hukum internasional saat ini permasalahan hukuman mati sudah dianggap kejam dan tak manusiawi karenanya sebanyak 106 negara telah menghapusnya dari tataran hukum yang berlaku.
Soal utama yang menghantui hukuman mati adalah legitimasi. Sayang, pendekatan positivisme hukum telah mengabaikan soal itu. Legitimasi satu-satunya menurut positivisme adalah sistem hukum yang berlaku. Legitimasi semacam ini bisa membutakan kita atas skema nilai tertentu yang bersembunyi di balik sistem hukum itu. Skema nilai biasanya bertopang pada lempeng kultural, entah sekular atau religius. Apapun, skema nilai tetap sumir hingga kita mampu menerobos tembok positivisme guna melakukan analisis jurispridensi mendalam.
Analisis jurisprudensi harus merumuskan jenis penghukuman macam apa yang dianggap kejam dan tak manusiawi. Paling tidak ada empat analisa utama. Pertama, analisis literal. Analisis literal bertahan bahwa jenis penghukuman yang harus dilarang adalah yang mengakibatkan penderitaan fisik yang parah.
Kedua, analisis otoritas historis. Analisis ini menyebutkan, jenis penghukuman yang harus dilarang adalah apa yang oleh para pendiri bangsa dianggap kejam dan tak manusiawi pada saat konstitusi diberlakukan.
Ketiga, analisis konsensus. Analisis ini menyebutkan, jenis penghukuman yang harus dilarang adalah apa yang bertentangan dengan kesadaran moral warga negara. Terakhir adalah analisis utilitarian. Analisis ini menyebutkan, jenis penghukuman yang harus dilarang adalah apa yang lebih dari yang diperlukan untuk mewujudkan sebuah tujuan sah sebuah pemerintahan.
BERTOLAK dari empat analisis itu, kita sepertinya belum bersepakat tentang apa yang kejam dan tak manusiawi. Sebagian bersandar pada prinsip kemaslahatan bersama, yang lain pada kesucian hidup. Bagi penganut prinsip kemaslahatan bersama, kejam dan tak manusiawi adalah soal kuantitas. Artinya, kalkulasi moral diletakkan di atas penghargaan terhadap hidup. Sementara, para pendiri bangsa sepertinya berpatokan pada hormat atas kehidupan. Mereka mengambil alih tradisi humanisme pasca revolusi Perancis yang memberi tempat tinggi pada kehidupan. Hidup manusia tak tergantikan oleh apapun. Kalkulasi biaya-keuntungan tak bisa dipakai untuk merampas itu darinya.
Namun, kesepakatan para pendiri bangsa sepertinya belum menjadi kesepakatan umum. Alhasil, sistem hukum Indonesia masih menderita inkonsistensi, inkoherensi, dan ambiguitas. Benturan filosofis terjadi antara konstitusi dan hukum positif. Filosofi para pendiri bangsa sepertinya diabaikan sebagai acuan yuridis hukum positif yang berlaku. Hukum positif lebih mengadopsi skema nilai yang berseberangan dengan filosofi awal.
Karena itu, kajian lintas-disiplin atas sistem hukum harus dilakukan guna memeriksa skema nilai di balik hukuman mati, mengkritisi, dan menyelaraskannya dengan filosofi awal konstitusi kita. Meski demikian, kajian ini harus membuka mata atas berbagai kemungkinan kontradiksi dan ambiguitas. Ambiguitas bukan untuk dihindari, tetapi diselesaikan.
Agama, misalnya, dikenal ambigu terhadap hukuman mati. Di satu sisi, ia dikenal sebagai kontributor prinsip-prinsip anti-hukuman mati. Kesucian hidup (sanctity of life) adalah paham Kristiani yang dipakai untuk menolak hukuman mati. Di sisi lain, sebagian tradisi agama masih mengusung hukuman mati. Bagi mereka, hukuman mati adalah metode penghukuman paling efektif guna membangun masyarakat yang baik. Mereka pun bersepakat melakukan cara apapun guna membuatnya legal.
Bagi saya, reformasi hukum tak akan beranjak kemana-mana sebelum ambiguitas ini diselesaikan. Dengan kata lain, reformasi hukum bukan sekadar perubahan pasal per pasal. Ia juga berarti pemeriksaan skema-skema nilai dan ambiguitas yang mungkin ada. Tanpa itu, sistem hukum kita tidak akan “hidup" dan sejalan gerak kesadaran moral dewasa ini. Kita tak bisa mengelak dari dilatasi moral yang bersumbu pada takterkorbankannya (inviolability) manusia atas alasan apapun. Itulah corak pokok humanisme kontemporer.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id