Enggak kepikir bagaimana rasanya hidup ditengah kebulan asap sebagaimana dirasakan teman atau kerabat kita yang tinggal di Kalimantan atau di Sumatera yang kini dilanda kabut asap.
Kabut asap yang terjadi hampir tiap tahun mungkin bukan fenomena baru lagi bagi mereka. Paru-paru Mereka sudah terbiasa untuk menghisap asap-asap tersebut karena penyelesaian pemerintah dalam kebakaran hutan selalu tidak pernah sampai ke akar persoalan. Perhatian pemerintah selama ini hanya bersifat temporer dan reaktif. Walaupun kabut asap tersebut sampai juga menjadi issue internasional, Pemerintah tetap saja keukeuh untuk lamban dalam bereaksi. Yach maklum lha birokrat ...... kudu ada uang yang masuk kantong mereka dulu kalo ingin mereka tanggap positif.
Lihat aja pernyataan-pernyataan para birokrat yang cenderung menyalahkan peladang gilir balik/tradisional dalam kasus kabut asap tersebut. Lebih enak menyalahkan peladang daripada harus susah-susah melakukan investigasi siapa penyebab sesungguhnya kebakaran tersebut meskipun yach kita harus akui juga adanya pembukaan kebun dengan cara bakar yang dilakukan oleh masyarakat namun tidak signifikan. Dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006, total kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin kehutanaan lainnya mencapai 81,1 %.
Hingga saat ini tidak ada satupun tindakan hukum yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan kasus kabut asap yang merugikan ini. Bahwa UU Perkebunan No. 18/2004 yang meskipun memuat sanksi namun amat sulit diimplementasikan mengingat proses hukumnya masih menggunakan KUHP yang mensyaratkan keberadaan barang bukti, seperti korek, bensin, saksi mata, dsb. Untuk kebakaran yang terjadi pada satu kawasan yang cukup luas, menemukan bukti materiil tersebut sama halnya dengan mencari jarum di atas tumpukan jerami.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id