Langsung ke konten utama
loading...

Pendirian Rumah Ibadat


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing serta beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Terkait dengan kewajibannya tersebut, negara mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib. Salah satu tugas negara dalam hal bimbingan dan pelayanan hak beragama warga negaranya adalah mengatur perihal pendirian rumah ibadat.

Perihal pendirian rumah ibadat diatur secara tegas dan jelas dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. : 9 Tahun 2006/ No. : 8 Tahun 2006 yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Secara umum, dalam pengaturannya, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut mengkualifikasi pengertian rumah ibadat dalam 2 (dua) kualifikasi yakni :

a. Rumah Ibadat, dan
b. Bangunan gedung bukan rumah ibadat.

Adapun yang dimaksud rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga sedangkan pengertian bangunan gedung bukan rumah ibadat menunjukkan arti pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat. Contoh, bangunan ruko dimanfaatkan sebagai rumah ibadat bagi kaum nasrani, rumah tempat tinggal dimanfaatkan sebagai rumah ibadat bagi kaum muslimin, dan sebagainya.

Berdasarkan pengertiannya di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya ditinjau dari sifat pemanfaatannya, Rumah ibadat lebih bersifat permanen, tidak ada batas waktu. Sedangkan untuk pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat, hanya bersifat sementara waktu dengan batasan waktu paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 19 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.: 9 Tahun 2006/ No.: 8 Tahun 2006).

Dalam prosedur pendirian rumah ibadat, Pasal 14 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.: 9 Tahun 2006/ No.: 8 Tahun 2006 mensyaratkan secara khusus adanya :

a. Daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat.
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/ kepala desa.
c. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/ kota, dan
d. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/ kota.

Dari persyaratan khusus yang ditetapkan, yang paling sering menjadi polemik permasalahan adalah adanya benturan/ reaksi penolakkan dari masyarakat setempat atas rencana pembangunan rumah ibadat suatu golongan agama. Misal, pembangunan gereja di tengah masyarakat yang mayoritas muslim atau sebaliknya. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan begitu saja, mengingat dampak negatifnya yang sangat luas, baik dari segi sosial, ekonomi dan kerukunan antar umat beragama itu sendiri. Oleh karenanya, Pasal 14 ayat (3) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.: 9 Tahun 2006/ No.: 8 Tahun 2006 menyatakan bahwasanya bila persyaratan khusus tentang Daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat telah disahkan oleh pejabat setempat akan tetapi dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka Pemerintah Daerah berkewajiban “memfasilitasi” tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat tersebut.

Apa yang dimaksud dengan “memfasilitasi” tersebut ? secara harfiah kata “memfasilitasi” mengandung pengertian fasilitasi, yang dapat mengarah pada arti ”mempermudah” dengan cara memberi bantuan seperti menjembatani dialog antar umat suatu golongan agama dengan masyarakat setempat, memberikan kemudahan persyaratan adiministratif dan atau persyaratan teknis, fleksibel dan sebagainya yang pada intinya agar pengguna rumah ibadat tersebut dapat berinteraksi secara nyaman, konstruktif, dan kolaboratif sehingga suatu umat agama dimaksud dapat mencapai tujuannya yakni pelaksanaan pembangunan rumah ibadat tanpa adanya benturan, konflik dan atau permasalahan dengan masyarakat setempat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy