Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Artinya, sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami isteri. Harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami isteri, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma. Hukum, sebagaimana ditentukan Pasal 122 KUHPerdata, mensyaratkan bahwa semua penghasilan dan pendapatan suami - istri, begitu pula semua keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan dan kerugian harta bersama. Yang dianggap sebagai keuntungan pada harta bersama suami isteri ialah bertambahnya harta kekayaan mereka, berdua, yang selama perkawinan timbul dan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing, usaha dan kerajinan masing-masing dan penabungan pendapatan yang tidak dihabiskan. Sementara yang dianggap sebagai kerugian ialah berkurangnya harta benda itu akibat pengeluaran yang lebih tinggi dari pendapatan. Adapun untuk pemanfaatan dan penggunaan harta bersama, Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Seiring dengan pengertian harta bersama perkawinan sebagaimana diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama seperti dianut dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Harta bersama perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diistilahkan dengan istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Dikalangan masyarakat awam, terkait dengan harta bersama suami istri, sering menjadi polemik adalah mengenai kedudukan serta hak janda cerai mati (istri yang menjadi janda karena kematian suami – pen) yang telah mendapatkan bagian dari harta bersama tetapi menuntut pula bagian dari harta warisan almarhum. Sebagian kalangan masyarakat awam tersebut menyatakan janda cerai mati tidak berhak atas harta warisan, sebagian kalangan menyatakan berhak. Bagaimana sebenarnya hukum mengatur hak janda cerai mati atas harta bersama dan harta warisan ?
Pertama-tama, harus dipahami terlebih dahulu kapan harta bersama itu bubar demi hukum ?
Meskipun pengertian harta bersama diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 namun pembubaran harta bersama tidak diatur secara tegas. Kalaupun ada, hanya terdapat dalam penjelasan Pasal 35 UU Perkawinan yang menyatakan “apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing”. Adapun pengertian yang dimaksud dengan "hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya (penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974). Merujuk dari penjelasan Pasal 35 dan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 maka dapat disimpulkan secara tegas bahwa terhadap pembubaran harta bersama perkawinan berlaku hukum perdata positip yang beraneka ragam dalam masyarakat. Artinya, dalam pembubaran atau pembagian harta bersama perkawinan, masyarakat, dalam hal ini suami istri atau para ahli warisnya, dapat menentukan berdasarkan hukum perdata yang didasarkan pada Kitab Undang undang Hukum Perdata (KUHP), Kompilasi Hukum Islam atau Hukum Adat. Pengertian hukum adat disini merujuk pada aturan hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan hukum itu sendiri.yakni kepastian. Singkat kata, ada banyak aturan hukum yang diterapkan dalam penyelesaian pembubaran dan pembagian harta bersama dalam perkawinan.
Mengingat banyaknya aturan hukum yang dapat diterapkan dalam penyelesaian pembubaran dan pembagian harta bersama maka tulisan ini membatasi dalam aturan-aturan hukum yang terkodifikasi dan diakui secara umum yakni masalah pembubaran dan pembagian harta bersama berdasarkan Kitab Undang undang Hukum Perdata (KUHP) dan Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 126 KUHPerdata menegaskan bahwa harta bersama bubar demi hukum:
1. karena kematian;
2. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada;
3. karena perceraian;
4. karena pisah meja dan ranjang;
5. karena pemisahan harta.
Pasal 128 KUHPerdata menyatakan bahwa setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu. Sementara Pasal 96 (1) Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan hal yang sama dengan menegaskan apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Berdasarkan ketentuan Pasal Hukum di atas maka jelas ketika terjadi suatu kematian dan ketika akan dilakukan pembagian harta warisan maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memisahkan harta bersama dalam perkawinan tersebut. Setelah dilakukan pemisahan harta bersama maka barulah dapat dilakukan pembagian harta warisan peninggalan almarhum.
Mengenai pembagian harta warisan peninggalan almarhum, berdasakan ketentuan Pasal 832 KUHPerdata, suami atau isteri yang hidup terlama ikut dan berhak menjadi ahli waris bersama keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, kedudukan janda untuk mendapat hak waris diatur dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam. Adapun isi lengkap Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam itu menegaskan sebagai berikut :
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah ;
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
- golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Seiring dengan pengertian harta bersama perkawinan sebagaimana diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama seperti dianut dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Harta bersama perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diistilahkan dengan istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Dikalangan masyarakat awam, terkait dengan harta bersama suami istri, sering menjadi polemik adalah mengenai kedudukan serta hak janda cerai mati (istri yang menjadi janda karena kematian suami – pen) yang telah mendapatkan bagian dari harta bersama tetapi menuntut pula bagian dari harta warisan almarhum. Sebagian kalangan masyarakat awam tersebut menyatakan janda cerai mati tidak berhak atas harta warisan, sebagian kalangan menyatakan berhak. Bagaimana sebenarnya hukum mengatur hak janda cerai mati atas harta bersama dan harta warisan ?
Pertama-tama, harus dipahami terlebih dahulu kapan harta bersama itu bubar demi hukum ?
Meskipun pengertian harta bersama diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 namun pembubaran harta bersama tidak diatur secara tegas. Kalaupun ada, hanya terdapat dalam penjelasan Pasal 35 UU Perkawinan yang menyatakan “apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing”. Adapun pengertian yang dimaksud dengan "hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya (penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974). Merujuk dari penjelasan Pasal 35 dan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 maka dapat disimpulkan secara tegas bahwa terhadap pembubaran harta bersama perkawinan berlaku hukum perdata positip yang beraneka ragam dalam masyarakat. Artinya, dalam pembubaran atau pembagian harta bersama perkawinan, masyarakat, dalam hal ini suami istri atau para ahli warisnya, dapat menentukan berdasarkan hukum perdata yang didasarkan pada Kitab Undang undang Hukum Perdata (KUHP), Kompilasi Hukum Islam atau Hukum Adat. Pengertian hukum adat disini merujuk pada aturan hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan hukum itu sendiri.yakni kepastian. Singkat kata, ada banyak aturan hukum yang diterapkan dalam penyelesaian pembubaran dan pembagian harta bersama dalam perkawinan.
Mengingat banyaknya aturan hukum yang dapat diterapkan dalam penyelesaian pembubaran dan pembagian harta bersama maka tulisan ini membatasi dalam aturan-aturan hukum yang terkodifikasi dan diakui secara umum yakni masalah pembubaran dan pembagian harta bersama berdasarkan Kitab Undang undang Hukum Perdata (KUHP) dan Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 126 KUHPerdata menegaskan bahwa harta bersama bubar demi hukum:
1. karena kematian;
2. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada;
3. karena perceraian;
4. karena pisah meja dan ranjang;
5. karena pemisahan harta.
Pasal 128 KUHPerdata menyatakan bahwa setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu. Sementara Pasal 96 (1) Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan hal yang sama dengan menegaskan apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Berdasarkan ketentuan Pasal Hukum di atas maka jelas ketika terjadi suatu kematian dan ketika akan dilakukan pembagian harta warisan maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memisahkan harta bersama dalam perkawinan tersebut. Setelah dilakukan pemisahan harta bersama maka barulah dapat dilakukan pembagian harta warisan peninggalan almarhum.
Mengenai pembagian harta warisan peninggalan almarhum, berdasakan ketentuan Pasal 832 KUHPerdata, suami atau isteri yang hidup terlama ikut dan berhak menjadi ahli waris bersama keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, kedudukan janda untuk mendapat hak waris diatur dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam. Adapun isi lengkap Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam itu menegaskan sebagai berikut :
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah ;
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
- golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
tulisaanya bagus banget ya, oya advokatku aku mo nanya nih klo dalam suatu keluarga salh satu pihak ttidak bekerja misalnya seorang suami atau stri dia tidakberja, apakah dia dapat bagian harta bersama?
BalasHapus