Langsung ke konten utama
loading...

Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain Conventional Weapons

Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain Conventional Weapons Which May Be Deemed to Be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects
(with Protocols I, II and III)


Geneva, 10 October 1980 Protocol IV,Vienna, 13 October 1995 Protocol II, as amended,
Geneva, 3 May 1996

Objectives
The aim of the Convention and its Protocols is to provide new rules for the protection of military personnel and, particularly, civilians and civilian objects from injury or attack under various conditions by means of fragments that cannot readily be detected in the human body by X-rays, landmines and booby traps, and incendiary weapons and blinding laser weapons.

Key Provisions
This Convention serves as an umbrella for protocols dealing with specific weapons. The Convention and its annexed Protocols apply in the situations common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 for the Protection of War Victims, including any situation described in Additional Protocol I to these Conventions.

Protocol I on Non-Detectable Fragments prohibits the use of any weapon the primary effect of which is to injure by fragments which in the human body escape detection by X-rays.

Protocol II on Prohibitions or Restrictions on the Use of Mines, Booby-Traps and Other Devices was amended on 3 May 1996 to strengthen its provisions. It extends the scope of application to cover both international and internal armed conflicts; prohibits the use of non-detectable antipersonnel mines and their transfer; prohibits the use of non-self-destructing and non-selfdeactivitating mines outside fenced, monitored and marked areas; broadens obligations of protection in favour of peacekeeping and other missions of the United Nations and its agencies; requires States to enforce compliance with its provisions within their jurisdiction; and calls for penal sanctions in case of violation.

Protocol III on Prohibitions or Restrictions on the Use of Incendiary Weapons prohibits, in all circumstances, making the civilian population as such, individual civilians or civilian objects, the object of attack by any weapon or munition which is primarily designed to set fire to objects or to cause burn injury to persons through the action of flame, heat or a combination thereof, produced by a chemical reaction of a substance delivered on the target.

Protocol IV on Blinding Laser Weapons prohibits the use of laser weapons specifically designed, as their sole combat function or as one of their combat functions, to cause permanent blindness to unenhanced vision, that is to the naked eye or to the eye with corrective eyesight devices. The High Contracting Parties shall not transfer such weapons to any State or non-State entity.

CONVENTION
Entry into force: 2 December 1983 Status as at 15 June 2000: Signatories: 51 Contracting
Parties: 79 PROTOCOL IV Entry into force: 30 July 1998 Status as at 15 June 2000: Contracting Parties: 49 PROTOCOL II, AS AMENDED

Entry into force: 3 December 1998 Status as at 15 June 2000: Contracting Parties: 50

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy