17 Maret 2009, setelah 12 (dua belas) tahun berlakunya Undang-Undang psikotropika dan narkotika, setelah melewati masa-masa pro dan kontra tentang pentingnya putusan Pengadilan tentang rehabilitasi bagi para pecandu/ korban Napza, akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran tentang pelaksanaan dan penerapan putusan rehabilitasi.
Harus diakui, bahwa tujuan pemidanaan dalam UU No. 5 Tahun 1997 dan UU No. 22 Tahun 1997 yakni memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika, dengan menetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, telah salah sasaran. Dikatakan telah sasaran karena penerapan pidana tersebut tidak memandang tingkat kejahatan dari subjek dan objek yang dilanggar. Polisi, Jaksa dan Hakim lebih menyamaratakan antara pemakai, pengedar dan bandar dengan suatu hukuman pidana yakni pidana penjara.
Penerapan hukuman pidana penjara bagi para pecandu/ korban Napza, sekali lagi, harus diakui telah gagal untuk menekan tindak kejahatan penyalagunaan NAPZA. Mereka yang seharusnya masih bisa dirawat dan dipulihkan atas kecanduannya pada NAPZA, akhirnya malah lebh parah, baik ketergantungannya pada NAPZA atau tingkat kejahatannya. Ini tidak lepas dari idiom di masyarakat bahwa “penjara tidak lebih dari sekolah bagi para penjahat pemula”.
Ketentuan tentang putusan rehabilitasi bagi para pemakai/pecandu/korban NAPZA diatur dalam undang-undang. Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika secara jelas menyatakan, pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika “dapat” diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Sedangkan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur sebagai berikut:
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika “dapat”:
a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Bagi Polisi, Jaksa maupun Hakim, pengertian kata “dapat” dalam pasal-pasal di kedua undang-undang, tidak lebih merupakan kata diskresi hukum yang tidak mewajibkan penerapan rehabilitasi dalam perkara penyalahgunaan Napza. Para aparatur penegak hukum, lebih menilai pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang-orang yang patut dihukum penjara. Akhirnya, mudah ditebak, lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun menjadi penuh dan overload.
Kembali pada pokok pembahasan, yakni tentang diterbitkannya SEMA No. 7 Tahun 2009 tentang menempatkan pemakai NAPZA kedalam panti terapi dan rehabilitasi diharapkan menjadi cikal bakal agar Polisi, Jaksa dan Hakim dapat kiranya benar-benar mengkategorikan dulu besar kecilnya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan seorang tersangka/ terdakwa dalam perkara penyalahgunaan NAPZA.
Dalam SEMA tersebut, secara jelas dan tegas dikatakan bahwa putusan rehabilitasi diterapkan dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Pelaku tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti satu kali pakai.
3. Adanya surat keterangan uji laboratoris bahwa pelaku adalah pengguna NAPZA.
4. Bukan residivis dalam kasus penyalahgunaan NAPZA.
5. Adanya surat keterangan dokter/ psikiater Pemerintah (bukan dokter praktek swasta).
6. Tidak ada bukti yang mengarah bahwa pelaku adalah pengedar/ bandar/ produsen NAPZA.
Ditegaskan pula dalam SEMA tersebut yakni tentang tempat perawatan dan rehabilitasi adalah Unit pelaksana teknis T & R BNN yang berada di LIDO – Bogor, RSKO, panti rehabilitasi DEPSOS RI dan UPTD, rumah sakit jiwa dan panti-panti rehabilitasi ketergantungan NAPZA yang dikelola masyarakat dengan ketentuan panti dimaksud telah terakreditasi oleh DEPKES atau DEPSOS.
Meskipun SEMA No. 7 Tahun 2009 tersebut adalah mimpi para pecandu yang menjadi kenyataan, tak ayal, masih meninggalkan suatu permasalahan yakni ditetapkannya Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat rehabilitasi dan pemulihan ketergantungan NAPZA. Perlu dipertanyakan secara phisikologis, apakah para pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang yang sakit jiwa ?
Harus diakui, bahwa tujuan pemidanaan dalam UU No. 5 Tahun 1997 dan UU No. 22 Tahun 1997 yakni memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika, dengan menetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, telah salah sasaran. Dikatakan telah sasaran karena penerapan pidana tersebut tidak memandang tingkat kejahatan dari subjek dan objek yang dilanggar. Polisi, Jaksa dan Hakim lebih menyamaratakan antara pemakai, pengedar dan bandar dengan suatu hukuman pidana yakni pidana penjara.
Penerapan hukuman pidana penjara bagi para pecandu/ korban Napza, sekali lagi, harus diakui telah gagal untuk menekan tindak kejahatan penyalagunaan NAPZA. Mereka yang seharusnya masih bisa dirawat dan dipulihkan atas kecanduannya pada NAPZA, akhirnya malah lebh parah, baik ketergantungannya pada NAPZA atau tingkat kejahatannya. Ini tidak lepas dari idiom di masyarakat bahwa “penjara tidak lebih dari sekolah bagi para penjahat pemula”.
Ketentuan tentang putusan rehabilitasi bagi para pemakai/pecandu/korban NAPZA diatur dalam undang-undang. Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika secara jelas menyatakan, pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika “dapat” diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Sedangkan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur sebagai berikut:
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika “dapat”:
a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Bagi Polisi, Jaksa maupun Hakim, pengertian kata “dapat” dalam pasal-pasal di kedua undang-undang, tidak lebih merupakan kata diskresi hukum yang tidak mewajibkan penerapan rehabilitasi dalam perkara penyalahgunaan Napza. Para aparatur penegak hukum, lebih menilai pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang-orang yang patut dihukum penjara. Akhirnya, mudah ditebak, lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun menjadi penuh dan overload.
Kembali pada pokok pembahasan, yakni tentang diterbitkannya SEMA No. 7 Tahun 2009 tentang menempatkan pemakai NAPZA kedalam panti terapi dan rehabilitasi diharapkan menjadi cikal bakal agar Polisi, Jaksa dan Hakim dapat kiranya benar-benar mengkategorikan dulu besar kecilnya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan seorang tersangka/ terdakwa dalam perkara penyalahgunaan NAPZA.
Dalam SEMA tersebut, secara jelas dan tegas dikatakan bahwa putusan rehabilitasi diterapkan dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Pelaku tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti satu kali pakai.
3. Adanya surat keterangan uji laboratoris bahwa pelaku adalah pengguna NAPZA.
4. Bukan residivis dalam kasus penyalahgunaan NAPZA.
5. Adanya surat keterangan dokter/ psikiater Pemerintah (bukan dokter praktek swasta).
6. Tidak ada bukti yang mengarah bahwa pelaku adalah pengedar/ bandar/ produsen NAPZA.
Ditegaskan pula dalam SEMA tersebut yakni tentang tempat perawatan dan rehabilitasi adalah Unit pelaksana teknis T & R BNN yang berada di LIDO – Bogor, RSKO, panti rehabilitasi DEPSOS RI dan UPTD, rumah sakit jiwa dan panti-panti rehabilitasi ketergantungan NAPZA yang dikelola masyarakat dengan ketentuan panti dimaksud telah terakreditasi oleh DEPKES atau DEPSOS.
Meskipun SEMA No. 7 Tahun 2009 tersebut adalah mimpi para pecandu yang menjadi kenyataan, tak ayal, masih meninggalkan suatu permasalahan yakni ditetapkannya Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat rehabilitasi dan pemulihan ketergantungan NAPZA. Perlu dipertanyakan secara phisikologis, apakah para pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang yang sakit jiwa ?
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id