Pasal 246 KUHDagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie) menyatakan, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Sementara, Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian menyatakan, asuransi atau pertanggungan adalah perjaniian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek dalam perjanjian asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
Perjanjian pertanggungan antara Penanggung (perusahaan asuransi) dan Tertanggung (nasabah) dimuat dalam suatu akta yang disebut polis. Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 tentang penyelenggaran usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi menyatakan polis asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai :
Saat berlakunya Tanggungan,
Uraian manfaat yang diperjanjikan,
Cara pembayaran premi,
Tenggang waktu (grace period) pembayaran premi,
Kurs yang digunakan untuk polis asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah,
Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi,
Kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan melewati waktu yang disepakati.
Priode dimana Perusahaan Asuransi tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi (incostestable period)
Tabel nilai tunai, bagi polis asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai.
Perhitungan deviden polis atau sejenisnya, bagi polis asuransi jiwa yang menjanjikan deviden polis atau sejenisnya.
Penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung atau dari pihak tertanggung, termasuk syarat dan penyebabnya.
Syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam mengajukan klaim.
Pemilihan tempat penyelesaian perselisihan.
Bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk polis asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa,
Adapun hal yang terlarang untuk dimuat dalam Polis Asuransi adalah :
Pencantuman suatu ketentuan yang dapat ditafsirkan bahwa tertanggung tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga tertanggung harus menerima penolakan pembayaran klaim.
Ketentuan yang ditafsirkan sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam upaya penyelesaian perselisihan.
Pembatasan pemilihan wilayah hukum Pengadilan hanya pada pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup domisili penanggung.
Dalam praktek, pengajuan klaim baru dapat dilakukan setelah polis asuransi diterbitkan dan premi dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung (Perusahaan Asuransi). Benarkah demikian ? Kapankah pertanggungan itu dapat dituntut secara hukum ?
Pasal 257 KUHDagang menyatakan, Perjanjian pertanggungan ada seketika setelah hal itu diadakan; hak mulai saat itu, malahan sebelum Polis ditandatangani dan kewajiban kedua belah pihak dari penanggung dan dari tertanggung berjalan.
Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 257 tersebut, sepanjang telah ada kesepakatan tanggung menanggung antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan Perusahaan Asuransi (penanggung), tertanggung dapat mengajukan klaim atas kerugian yang ada. Bingung khan ? …. Sama, saya juga bingung tuh … enak bener khan bisa mengajukan klaim asuransi tanpa adanya polis asuransi …:-D
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek dalam perjanjian asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
Perjanjian pertanggungan antara Penanggung (perusahaan asuransi) dan Tertanggung (nasabah) dimuat dalam suatu akta yang disebut polis. Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 tentang penyelenggaran usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi menyatakan polis asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai :
Saat berlakunya Tanggungan,
Uraian manfaat yang diperjanjikan,
Cara pembayaran premi,
Tenggang waktu (grace period) pembayaran premi,
Kurs yang digunakan untuk polis asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah,
Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi,
Kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan melewati waktu yang disepakati.
Priode dimana Perusahaan Asuransi tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi (incostestable period)
Tabel nilai tunai, bagi polis asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai.
Perhitungan deviden polis atau sejenisnya, bagi polis asuransi jiwa yang menjanjikan deviden polis atau sejenisnya.
Penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung atau dari pihak tertanggung, termasuk syarat dan penyebabnya.
Syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam mengajukan klaim.
Pemilihan tempat penyelesaian perselisihan.
Bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk polis asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa,
Adapun hal yang terlarang untuk dimuat dalam Polis Asuransi adalah :
Pencantuman suatu ketentuan yang dapat ditafsirkan bahwa tertanggung tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga tertanggung harus menerima penolakan pembayaran klaim.
Ketentuan yang ditafsirkan sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam upaya penyelesaian perselisihan.
Pembatasan pemilihan wilayah hukum Pengadilan hanya pada pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup domisili penanggung.
Dalam praktek, pengajuan klaim baru dapat dilakukan setelah polis asuransi diterbitkan dan premi dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung (Perusahaan Asuransi). Benarkah demikian ? Kapankah pertanggungan itu dapat dituntut secara hukum ?
Pasal 257 KUHDagang menyatakan, Perjanjian pertanggungan ada seketika setelah hal itu diadakan; hak mulai saat itu, malahan sebelum Polis ditandatangani dan kewajiban kedua belah pihak dari penanggung dan dari tertanggung berjalan.
Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 257 tersebut, sepanjang telah ada kesepakatan tanggung menanggung antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan Perusahaan Asuransi (penanggung), tertanggung dapat mengajukan klaim atas kerugian yang ada. Bingung khan ? …. Sama, saya juga bingung tuh … enak bener khan bisa mengajukan klaim asuransi tanpa adanya polis asuransi …:-D
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id