Langsung ke konten utama
loading...

Banjir Di Jakarta, Bukanlah Bencana

A. Fakta Banjir dan Kerugian Yang di Tanggung Masyarakat Korban Banjir Tahun 2007 di Wilayah DKI Jakarta.

Bahwa kurang lebih pada hari Jum’at tanggal 2 Februari 2007 atau setidak-tidaknya pada awal bulan Februari 2007, banjir mulai menggenangi wilayah DKI Jakarta. Beberapa titik kawasan yang kerap setiap tahunnya tergenang banjir sedikit demi sedikit mulai tergenang banjir.

Bahwa kemudian pada Hari Sabtu, 3 Februari 2007 sejumlah media massa nasional tegas-tegas menyatakan ada beberapa lokasi banjir di wilayah hukum DKI Jakarta. Beberapa lokasi banjir tersebut adalah :

Jakarta Pusat :

- Tanah Abang,
- Gambir,
- Kemayoran.
- Karet tengsin,
- Bendungan Hilir,
- Petamburan,

Jakarta Utara :

- Kelapa Gading,
- Cilincing,
- Koja,
- Tanjung Priok,
- Pademangan,
- Kapuk Muara.

Jakarta Barat :

- Palmerah,
- Grogol Petamburan,
- Tambora,
- Cengkareng,
- Kali Deres,
- Taman sari,
- Kebon Jeruk.

Jakarta Selatan :

- Tebet,
- Kebayoran Baru,
- Pesangrahan,
- Cilandak,
- Mampang,
- Pancoran,
- Jagakarsa,
- Pasar Minggu,
- Setia Budi.

Jakarta Timur :

- Jatinegara,
- Makassar,
- KramatJati,
- Duren Sawit,
- Matraman,
- Pulo Gadung,
- Cakung,
- Ciracas


Dari beberapa lokasi banjir di atas setidak-tidaknya terdapat fakta masing-masing lokasi tersebut tergenang banjir setinggi antara 1,5 meter sampai dengan 4 Meter. Sehingga warga disekitar lokasi harus mengungsi ke lokasi yang lebih aman.

Bahwa selain itu, akibat dari Banjir tersebut jaringan komunikasi seperti telephone dan sinyal beberapa provider telephone seluler juga ikut bermasalah. Hal ini diperparah lagi dengan padamnya listrik di sejumlah kawasan DKI Jakarta sehingga masyarakat yang bukan korban banjir secara langsung mau tidak mau terkena imbasnya pula.

Bahwa selain lumpuhnya jaringan komunikasi dan listrik, Banjir di kawasan DKI Jakarta juga melumpuhkan sarana transportasi masyarakat DKI Jakarta. Setidak-tidaknya ada 120 (seratus dua puluh) jadwal Kereta Api di Jakarta terganggu dikarenakan terendamnya lintasan kereta api, beberapa jalan protokol di kawasan DKI Jakarta terendam banjir yang pada akhirnya menciptakan kemacetan total di wilayah tersebut, 4 (empat) koridor Busway dari 7 (tujuh) koridor busway tidak bisa beroperasi juga karena banjir.

Bahwa selain itu, berdasarkan laporan banjir di wilayah propinsi DKI Jakarta tanggal 12 Februari 2007 sebagaimana disampaikan Kantor Dinas Tramtib dan Linmas Propinsi DKI Jakarta didapat fakta-fakta ada kurang lebih 12.653 Kepala Keluarga, 39.111 jiwa menjadi penggungsi di 59 Lokasi Pengungsi dan Korban Jiwa akibat musibah banjir di wilayah DKI Jakarta berjumlah 48 (empat puluh delapan) orang. (Bukti P – 3).

Bahwa quodnon seandainya jika setiap satu orang dari 39.111 pengungsi melakukan kegiatan ekonomi dengan potensial mendapatkan Rp. 10.000.000,- (sepuluh ribu rupiah) per harinya maka setidak-tidaknya masyarakat DKI Jakarta yang menjadi pengungsi potensial kehilangan pendapatan sejumlah Rp 391.110.000 (Tiga ratus sembilan puluh satu juta seratus sepuluh ribu) per harinya. Jika dikalikan dengan jumlah hari selama waktu pengungsi yakni 10 hari (terhitung sejak tanggal 3 Februari 2007 – 12 Februari 2007) maka didapat total kerugian sejumlah 3.911.100.000 (Tiga milyard sembilan ratus sebelas juta seratus ribu rupiah).

Bahwa potensial jumlah kerugian sebagaimana dimaksud di atas belum mencakup kerugian materi secara riel akibat terendamnya harta benda dan atau rumah milik masyarakat korban banjir sehingga patut kiranya akibat musibah banjir yang melanda wilayah DKI Jakarta tersebut masyarakat korban banjir di DKI Jakarta harus menanggung kerugian sejumlah Rp. 4.000.000.000.000,- (Empat Trilyund rupiah).
  • B. Banjir Di Jakarta Bukan Bencana Melainkan Akumulasi Buruknya Kinerja Lembaga Eksekutif Propinsi DKI Jakarta.

    Bahwa permasalahan banjir di wilayah DKI Jakarta merupakan masalah tahunan yang tak kunjung pernah mendapat penangganan secara akurat, professional, cepat dan tepat. Setiap tahunnya wilayah DKI Jakarta sejak tahun 1990 – 2006 pasti mengalami musibah banjir.

    Bahwa karena musibah banjir merupakan musibah tahunan maka dapat dipastikan secara fakta dan hukum, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso dan Fauzi Bowo selaku pimpinan eksekutif tertinggi di wilayah hukum DKI Jakarta mengetahui secara pasti lokasi-lokasi mana saja yang kerap menjadi lokasi banjir.

    Bahwa ironis ternyata Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak mempunyai rencana strategis mengatasi polemik banjir di wilayah DKI Jakarta. Hal ini dapat dilihat dengan reaksi Gubernur DKI Jakarta atas terjadinya musibah banjir Tahun 2007 yang pada pokoknya menyatakan, “Saya angkat tangan saja, ini sudah kondisi alam”. (Harian IndoPos, lembar Jakarta Raya, Sabtu 3 Februari 2007, Halaman 17).

    Bahwa pernyataan Gubernur DKI Jakarta sebagaimana dikutip media massa tersebut jelas dan terang menunjukkan buruknya profesionalisme yang dianut Gubernur DKI Jakarta selaku pimpinan eksekutif daerah dalam menangani masalah banjir di wilayah DKI Jakarta. Bahwa dengan pernyataannya tersebut setidak-tidaknya dapat diartinya bahwa Gubernur DKI Jakarta tidak melakukan upaya maksimal, akurat, cepat dan tepat dalam menangani masalah Banjir di Jakarta.

    Bahwa permasalahan banjir di Jakarta tidak lepas dari fakta-fakta sebagai berikut :

    Permasalahan luas tanah di Jakarta tidak bertambah atau malah makin menyempit karena abrasi, sementara penduduk terus bertambah,
    Tanah kosong atau jalur hijau yang diharapkan menjadi lahan serapan air semakin berkurang lantaran pemukiman dan fasilitas bisnis yang terus bertambah dan melebar secara horizontal,
    Bantaran sungai yang mestinya menampung air pada saat pasang, umumnya tertutup oleh hunian, baik resmi maupun liar dan sampah-sampah. Lebar sungai-sungai di Jakarta semakin menyempit, dari umumnya 75 meter menjadi 35 meter.
    Kondisi lingkungan di wilayah hulu sungai yang makin buruk.
    Belum tumbuhnya kesadaran kolektif untuk menanggulangi kemungkinan timbulnya bencana, terutama yang disebabkan banjir.

    Bahwa dari fakta-fakta yang terurai dalam point gugatan di atas dapat dirumuskan secara sempit atas permasalahan banjir di DKI Jakarta yakni berkurangnya lahan serapan air, masalah bantaran sungai yang tertutup oleh hunian dan masalah sampah.

    Bahwa permasalahan lahan serapan air, bangunan di pinggir sungai dan masalah sampah sudah seharusnya menjadi perhatian penuh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta namun pada kenyataannya hal tersebut malah tidak menjadi perhatian mereka.

    Bahwa pada kenyataannya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sebelum terjadinya musibah banjir Tahun 2007 lebih terkonsentrasi pada proyek-proyek mercusuar yang justru mempersempit Ruang Terbuka Hijau (RKT) yang notabene merupakan lahan serapan hijau.

    “Memasuki abad XXI, tahun 2000 dan sesudahnya, RTH Jakarta tinggal 9,38 persen, jauh di bawah kondisi ideal (luas RTH minimum 27,5 persen dan maksimum 31,8 persen). Bahkan, di Jakarta sekarang, kantong air – situ, danau, dan rawa-hanya 2,96 persen padahal untuk kondisi ideal ia harus di atas 20 persen”.

    (kutipan lembar metropolitan harian KOMPAS Sabtu, 3 Februari 2007, hal 39)

    Bahwa pembangunan di wilayah DKI Jakarta yang pada prakteknya mempersempit Ruang Terbuka Hijau (RKT) jelas dapat dianggap merupakan tindakan kelalaian Tergugat I dan Tergugat II dalam mengembangkan Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta atau setidak-tidaknya Tergugat I dan Tergugat II patut dianggap telah mengabaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2010 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999.

    Bahwa kelalaian yang dilakukan Tergugat I dan Tergugat II secara jelas dan terang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat DKI Jakarta sehingga dengan demikian patut kiranya Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheads daad).

    Bahwa yang paling menyakitkan bagi Penggugat adalah tindakan-tindakan Tergugat I dan Tergugat II yang kerap kali bersikap reaksioner terhadap masalah banjir. Ketika musibah banjir terjadi kembali di wilayah DKI Jakarta, Tergugat I dan Tergugat II baru kemudian bereaksi tetapi ketika banjir sudah berlalu dan kehidupan masyarakat kembali normal, Tergugat I dan Tergugat II malah melupakan sebab-sebab mengapa banjir melanda wilayah DKI Jakarta.

    Bahwa sikap reaksioner Tergugat I dan Tergugat II jelas merupakan tindakan sembrono yang tidak semestinya dilakukannya karena setiap tahunnya Pemerintah Propinsi DKI Jakarta selalu mengalokasikan anggaran penggendalian banjir yang nilainya miliaran rupiah. Pada tahun 2002, dianggarkan Rp. 223,82 milliar. Tahun 2006, anggaran pengendalian banjir meningkat menjadi Rp. 306,37 miliar sementara tahun 2007 ini dana yang dialokasikan menjadi Rp. 391,05 miliar.

    Bahwa seandainya anggaran pengendalian banjir tersebut digunakan sebagaimana mestinya dengan memperhatikan penanganan sebab-sebab terjadinya banjir secara terus menerus dan berkesinambungan tentunya Pemerintah DKI Jakarta tidak perlu lagi menganggarkan penggendalian banjir dalam skala yang tiap tahunnya meningkat terus.

    Bahwa tindakan reaksioner sebagaimana dimaksud point gugatan di atas jelas merupakan tindakan yang harus dianggap melanggar norma kepantasan dalam pemerintahan yang tidak seharusnya dilakukan Tergugat I dan Tergugat II sehingga kiranya sudah sepantasnya pula Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan TERGUGAT I DAN TERGUGAT II TELAH MELAKUKAN perbuatan melawan hukum (onrechtmatigeoverheads daad).

    Bahwa kemudian tindakan reaksioner kembali ditunjukan Tergugat I dengan menjanjikan akan memberikan uang kepada masyarakat DKI Jakarta yang menjadi korban banjir tahun 2007 dengan nominal Rp. 1.000.000.000, - (satu miliar rupiah) per kelurahan dimana dana tersebut diambil dari dana Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) tahun anggaran 2007.

    Bahwa meskipun niat dari tindakan reaksioner Tergugat membagi-bagikan uang tersebut dapat dianggap sebagai niatan baik, quadnon seandainya hal tersebut benar akan dilakukan, Penggugat menganggap bahwa tindakan membagi-bagikan uang sarat dengan penyelewengan karena rawan dengan penyimpangan-penyimpangan yang akan terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy