Usai nonton DELIK di RCTI (tayang hari senin jam 22.30), rasa penasaran ku ttg wajah asli si pasien face off terhapuskan juga. Ternyata, wajah Lisa (si pasien face off), sebelum disiram air keras oleh suaminya, memang cantik. Saking cantiknya, tetangganya menceritakan, "lha wong kalau dia bangun tidur, enggak mandi, langsung ke pasar. Di pasar jadi idola kog". weleh ... weleh .... (tapi emang bener bow .... fhoto yang ditayangkan oleh RCTI juga membenarkan hal tersebut)
Demikianlah penyesalan setan .... nyiram muka pake air keras kog mikirnya enggak bakalan nimbulkan efek yang parah ?
Catatan dari kasus Lisa ini memang menjadi rentetan kasus-kasus tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang kerap kali hanya menjadi kasus domestik (kasus yang tidak akan terungkap jika si korban (umumnya wanita) tidak mau melaporkan)
Agak susah memang melakukan advokasi terhadap wanita-wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena banyak faktor antara lain masih kentalnya pemahaman bahwa masalah dalam rumah tangga adalah masalah pribadi/domestik, yang orang lain tidak boleh ikut campur yang pada akhirnya membuat orang lain pun enggan turut campur. Cilakanya, pemahaman ini merasuki pula alm pikiran aparat-aparat penegak hukum kita. Yang sialnya .... penegak hukum menjadi pasif untuk menindak lanjuti kasus-kasus sejenis ini.
Selama ini penyelesaian kasus-kasus KDRT hanya mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP. Padahal pasal-pasal tersebut kurang dapat mengadopsi dan memberikan keadilan pada korban. Sehingga patut menumbuhkan harapan ketika pada akhirnya (setelah tujuh tahun dalam penantian) Panitia Khusus Komisi VII DPR RI bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan (mewakili Pemerintah), memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU Penghapusan KDRT).
Bila diimplementasikan dengan konsisten, keberadaan RUU Penghapusan KDRT akan membantu upaya perlindungan perempuan, terutama para istri, dari aneka bentuk kekerasan.
Pertama, karena akan membuat suami tidak bisa lagi berbuat semena-mena terhadap dirinya. Sebab tindakan kekerasan yang dilakukan seorang suami tidak lagi menjadi urusan pribadi, tetapi telah menjadi urusan publik. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7.
Kedua, karena ancaman hukumannya cukup tinggi. Pelaku kekerasan fisik diancam dikenakan pidana penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp 15 juta (Pasal 29 (1)). Bila mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dikenai pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp 30 juta (pasal 29 (2)). Sementara bila mengakibatkan kematian korban dikenai pidana penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp 45 juta (Pasal 29 (3)).
Sedangkan pada pelaku kekerasan psikis dikenakan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda Rp 9 juta (Pasal 30). Pada pelaku kekerasan seksual dikenakan pidana penjara maksimal 12 tahun dan denda Rp 36 juta (Pasal 31).
Bahkan bila mengakibatkan korban luka tak bisa sembuh, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan, atau gugur atau matinya janin dalam kandungan atau tak berfungsinya alat reproduksi dikenakan pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun atau denda minimal Rp 25 juta dan maksimal Rp 500 juta (Pasal 33).
Ketiga, karena kini dengan hanya keterangan saksi korban ditambah satu alat bukti yang sah (keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, surat dan keterangan terdakwa) sudah bisa membuktikan terdakwa pelaku KDRT. Selain itu telah disepakati pula saksi pidana tambahan atau sanksi alternatif berupa pembatasan gerak pelaku dari korban serta penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Memang RUU Penghapusan KDRT ini masih mengandung kelemahan seperti masih diterapkannya delik aduan bila kekerasan tersebut terjadi antara suami-istri, dengan alasan dalam relasi suami-istri, tak akan diketahui adanya tindak kekerasan jika korban tidak melaporkan diri.
Selain itu juga hanya ada satu pasal (Pasal 32 tentang pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu) yang mengatur hukuman minimal bagi pelaku kekerasan, ya-itu pidana minimal empat tahun dan maksimal 15 tahun atau denda minimal Rp 12 juta dan mak-simal Rp 300 juta. Hal ini membuka peluang, pelaku menerima hukuman yang sangat ringan.
Tapi bagaimanapun juga, keberadaan RUU Penghapusan KDRT ini memberikan sebersit harapan bagi para istri atas upaya perlindungan bagi dirinya. Terlebih bila diiringi dengan upaya mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat, birokrat juga aparat akan konsep kesetaraan dalam relasi laki-laki-perempuan, termasuk juga kesetaraan (dan apresiasi) atas kerja perempuan di ruang domestik.
Upaya perlindungan tersebut akan kian sempurna bila diiringi dengan upaya Pemerintah dalam mereduksi kemiskinan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Saya berharap keberadaan RUU Penghapusan KDRT ini akan membantu para suami agar bisa memiliki perilaku yang menyayangi istrinya. (lho ?? emangnya elo romantis sama bini elo yu ?..... sssttttt !!!)
mulyono itu suaminya khan ya ? face off kalo wajah nadya hutagalung yg ditempel dimukaku, mau aahhh hihihi...
BalasHapushmmm... kalo kekerasan mental alias penghancuran mental seseorang dengan kata2 ada hukumnya ga ya... pengkhianatan? pemfitnahan? terlalu sepele di negara yang penuh krisis ini ya? *sigh* padahal katanya fitnah lebih kejam daripada pembunuhan... dan walaupun belum terbunuh, fitnah memang terbukti kekejiannya dalam menghancurkan hidup seseorang... i guess i can't really rely on law anyways...
BalasHapus