Sengketa atau perselisihan hak dalam bidang pertanahan sesungguhnya merupakan perselisihan/ sengketa dengan nilai ekonomi yang tinggi. Dikatakan bernilai ekonomi tinggi karena dalam praktek banyak varian perselisihan/ sengketa pertanahan yang bermuara pada tindakan mengaburkan kepastian letak dan batas bidang tanah dengan cara mencabut/ merusak atau memindahkan patok batas tanah, pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta bidang tanah yang tidak sesuai, data penguasaan/pemilikan tanah dan tindakan-tindakan administrasi pertanahan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat banyaknya sengketa-sengketa pertanahan yang terjadi di masyarakat, misalnya penerbitan sertifikat tanah yang menimbulkan sengketa hak antara subjek yang tercantum dalam sertifikat dengan subjek lain yang juga menyatakan mempunyai hak atas tanah tersebut, perselihan hak antara pemegang Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) atas bidang tanah yang sama, dan atau segala perselisihan bidang tanah yang hak-haknya belum dibebaskan oleh pemohon hak pengelolaan dari pemegang hak-hak tersebut. Sengketa dan atau perselisihan ini tentunya dapat menimbulkan perkara pelanggaran hukum administrasi negara, hukum perdata, dan pelanggaran hukum pidana yang dapat menimbulkan kerugian baik berupa materil maupun moril. Ini berarti dalam upaya penyelesaian sengketa atau perselisihannya tersebut, mau tidak mau, subjek yang berselisih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Sengketa pertanahan yang paling sering menjadi polemik di masyarakat adalah sengketa hak tanah di atas satu persil diterbitkan dua sertifikat yang berbeda, sehingga terjadi sengketa di antara pemegang sertifikat di atas satu persil yang sama. Secara faktual, sengketa ini makin diperumit dengan dijaminkannya sertifikat yang menjadi objek sengketa kepada pihak ketiga/ kreditor baik dalam bentuk dibebankan hak tanggungan atau tidak. Yang singkat kata, bila sertifikat itu ditetapkan/ diputuskan oleh Pengadilan sebagai sertifikat yang tidak sah atau dibatalkan, tentunya pihak ketiga/ kreditor tersebut akan dirugikan. Potensi ketidakpastian hukum atas sengketa ini tentunya sangat besar dan kompleks yang pada akhirnya akan merucut pula atas kepastian hukum sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan yang akan menjadi kabur dan tidak jelas bagi pihak yang bersengketa.
Sengketa hak pertanahan yang lain yang perlu diperhatikan adalah sengketa eks Hak Guna Usaha (HGU) tanah perkebunan yang kerap dilakukan pengusaha/ perusahaan perkebunan nakal dengan cara mengalihkan eks HGU yang telah berakhir masa berlakunya dan tidak diperpanjang lagi oleh pemerintah, kepada pengusaha/ perusahaan perkebunan lain yang teraffiliansi dengan si pengusaha/ perusahaan itu sendiri atau tidak. Secara hukum, perbuatan mengalihkan eks HGU ini merupakan perbuatan yang melawan hukum, karena melanggar asas “nemo plus yuris” (melakukan perbuatan yang melebihi haknya) mengingat dalam aturan hukumnya HGU hanya bisa dialihkan sepanjang hak itu masih hidup atau masih berlaku. Jika HGU telah berakhir, maka tanah kembali kepada negara atau dikuasai oleh negara. Sayangnya, instansi pemberi HGU tersebut lebih memilih melakukan upaya hukum adminstrasi atau secara perdata padahal perbuatan mengalihkan/menjual tanah eks HGU tersebut, adalah termasuk domain hukum pidana dan para pelakunya dapat dijatuhkan sanksi pidana. Akhirnya, bisa ditebak, masyarakat memiliki persepsi negatif tersendiri atas penegakan hukum dibidang pertanahan dan karenanya tidak heran pula, pada akhirnya masyarakat memilih melakukan eksekusi dengan caranya sendiri untuk dapat mengelola tanah eks HGU tersebut.
Memang, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, tidak mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat, tetapi tidak berarti kesalahan dalam pendaftaran tanah yang menyangkut adanya unsur-unsur kelalaian, kesengajaan, penipuan, dan paksaan dalam pembuatan data fisik dan data yuridis tidak bisa dijangkau oleh KUHP, terhadap mereka tetap dapat dijatuhkan sanksi pidana.
Kejahatan ataupun pelanggaran pidana dalam hukum pertanahan, dapat berupa kejahatan dan pelanggaran dalam pembuatan data fisik dan data yuridis, misalnya perusakan patok tanda batas tanah dan mengubahnya pada tempat yang lain, memberikan data palsu atau keterangan palsu yang berkaitan dengan keberadaan tanah dan dilakukan oleh beberapa orang yang terkait, seperti kepala desa, lurah, notaris/PPAT, camat dan para petugas administrasi negara di Kantor BPN serta orang yang memohon hak, maka mereka tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mampu secara minimalis menjaring pelaku tindak pidana di bidang pendaftaran tanah, yaitu antara lain dengan menggunakan Pasal 406 ayat (1) jo Pasal 407 ayat (1) KUHP, pelanggaran terhadap Pasal 265 KUHP tentang Pemalsuan Surat dan Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan (delneming) jo Pasal 385 KUHP tentang Perbuatan Curang (bedrog).
Dengan ketentuan pidana ini, maka kebijakan kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan bidang pertanahan telah terakomodasi. Tetapi dalam proses penyidikan dan penegakan hukumnya masih terdapat kesulitan teknis, sehingga sulit untuk dilaksanakan karena harus pula dapat dibuktikan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan memenuhi unsur kesalahan (schuld) karena kita tahu, tanpa adanya kesalahan, seseorang tidak dapat dipidana (geen straf zonderschuld) dan tanpa dapat dibuktikannya unsur kesalahan, maka ia dapat dibebaskan dalam segala dakwaan.
Untuk membuktikan unsur kesalahan, sesungguhnya dapat dikaitkan dengan perbuatan sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa). Pembuktian adanya unsur kesengajaan sangat diperlukan misalnya tentang data-data fisik maupun data yuridis dalam pendaftaran tanah, dicurigai adanya kesalahan terhadap penentuan tugu/batas patok yang memenuhi syarat teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena di banyak daerah tugu batas/patok adalah apa yang selama ini diyakini masyarakat secara alamiah baik itu berupa pohon, batas tegalan sungai, dan sebagainya. Dalam hal ini, penyidik Polri harus proaktif melakukan penyidikan tentang batas-batas tanah yang sebenarnya sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dalam banyak kasus, data fisik ternyata tidaksesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Hal ini patut diduga, apakah ada kelalaian dan kesengajaan dari aparat membuat tugu batas/patok dalam buku tanah yang bersangkutan. Di samping itu perlu diteliti, apakah ada perbuatan memindahkan batas/patok yang asli dan menggantikannya dengan patok lain yang tidak sesuai dengan ukuran semula. Perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai perbuatan perusakan barang yang diancam dengan Pasal 406 dan Pasal 407 ayat (1) KUHP. Kejahatan ini merupakan perbuatan sengaja melakukan perusakan atau pemindahan patok batas yang bersangkutan oleh pemohon hak ataupun oleh petugas BPN. Dalam hal ini, patut diduga adanya indikasi kolusi. Di samping itu, peran kepala desa ataupun lurah sangat menentukan dalam hal pembuatan surat keterangan tidak adanya silang sengketa, yang kemudian dikuatkan dengan Surat Keterangan Camat setempat terhadap tanah yang bersangkutan. Tidak mustahil hal ini dapat terjadi karena adanya kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat atas tanah. Perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana memberikan keterangan palsu/pemalsuan dokumen, yang dilakukan dengan penyertaan/turut serta (deelnemiing), perbuatan mana diancam dengan Pasal 263, 264 jo Pasal 55 KUHP.
Disamping itu, Penyidik Polri perlu menentukan apakah perbuatan penyertaan/turut serta (deelneming), apakah termasuk turut serta yang berdiri sendiri (zelf standing deelnemers) atau termasuk turut serta yang assesoir (accessoire deelnemers). Penentuan ini adalah untuk menentukan pertanggungjawaban pelaku, apakah pelaku itu masing-masing berdiri sendiri, dengan kualitas perbuatan yang berbeda dan hukuman yang berbeda bagi masing-masing pelaku. Atau apakah perbuatan itu dilakukan antara pelaku dengan pelaku lainnya, saling berhubungan satu sama lain dalam arti perbuatan yang satu dianggap ada jika adanya perbuatan dari pelaku yang lain, sehingga pertanggungjawaban pelaku dinilai sama dan dijatuhi hukuman yang sama.
Dalam rangka penyidikan kasus tersebut, pihak Polri dapat mempergunakan Hukum Pidana Umum, bahkan tidak menutup kemungkinan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, apabila rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh para pejabat terkait atau masyarakat, yang bertujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara. Pembuktian yang menyangkut peristiwa pidana tersebut dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 164 HIR/Pasal 184 KUHAP yang dimulai dari bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, pengakuan, dan sumpah yang dapat diambil dari dokumen para saksi maupun tersangka dalam kasus tersebut.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id