Langsung ke konten utama
loading...

Apa dan bagaimana Ekstradisi di Indonesia

Gemasnya para petinggi Demokrat akibat celotehan-celotehan Nazarudin yang dilakukannya di luar wilayah hukum Indonesia, pada akhirnya menggiring publik untuk mengenal istilah ektradisi.

Istilah ekstradisi sesungguhnya bukan suatu istilah yang asing bagi publik karena sejak tahun 1979, Indonesia memang sudah memiliki peraturan tentang ektradisi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang perjanjian ekstradisi. Dalam pasal 1 UU No.1 Tahun 1979 ditegaskan bahwasanya, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.

Bagaimana mekanisme pelaksanaan ektradisi ? Ekstradisi dilakukan atas dasar suatu ”perjanjian” (treaty) antara suatu negara dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan dengan undang-undang. Jika belum ada perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar ”hubungan baik” dan jika kepentingan negara Republik Indonesia menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 dan 2).

Siapakah yang dapat diekstradisi ? Adalah orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka menemukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan, dan dapat juga dilakukan terhadap orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan, dan pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sepanjang pembantuan, percobaan, dan pemufakatan jahat itu dapat dipidana menurut Hukum Negara Republik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi (Pasal 3 ayat 1 dan 2).

Berkenaan dengan perjanjian ektradisi, berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/ 117 tanggal 14 Desember 1990, saat ini dikenal keseragaman model perjanjian ekstradisi secara Internasional yang pada intinya ditegaskan dalam perjanjian ekstradisi sedikitnya mengandung unsur-unsur :

1.   Unsur subjek, yaitu Negara Diminta dan Negara Peminta;
2.  Unsur objek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana;
3.   Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur tertentu;
4.   Unsur tujuan, yaitu untuk mengadili dan atau menghukum pelaku.

Secara internasional pula, disepakati bahwasanya ekstradisi tidak dapat dilakukan atas kemauan satu negara dengan begitu saja, akan tetapi terlebih dulu harus ada permintaan untuk menyerahkan orang yang bersangkutan dari Negara Peminta kepada Negara Diminta. Tanpa adanya permintaan terlebih dahulu dari Negara Peminta kepada Negara tempat orang yang dicari berada (Negara Diminta), maka negara ini tidak boleh menyerahkan orang tersebut.

Berdasarkan ketentuan keseragaman internasional tentang ektradisi maka didapat keseragamana  asas-asas umum perjanjian ektradisi, seperti :

1.   Asas Double Criminality (Asas Kejahatan Rangkap)

Asas ini dimaksudkan untuk perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan.

2.   Penolakan terhadap Permohonan Ekstradisi

a. Asas bahwa jika suatu kejahatan tertentu oleh  negara diminta dianggap sebagai kejahatan politik, maka permintaan ekstradisi ditolak. Namun terhadap kejahatan politik tertentu, pelakunya dapat juga diekstradisi sepanjang diperjanjikan antar Negara yang bersangkutan.

b.   Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri. Penyimpangan terhadap asas ini dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan lebih baik diadili di tempat dilakukannya kejahatan.

c.   Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan semuanya atau sebagian di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam yurisdikdi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi.

d.   Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya.

e.  Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak (Non bis in idem).

f.   Asas bahwa seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah kadaluarsa.

g.   Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan diekstradisinkan selain dari pada untuk kejahatan maka ia diserahkan, kecuali bila negera yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya.

h.   Kejahatan menurut hukum pidana militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum, tidak dapat dilakukan ekstradisi, kecuali apabila dalam suatu perjanjian ditentukan lain.

i.   Kejahatan yang dimintakan ekstradisi, diancam dengan pidana mati menurut hukum negara peminta sedangkan menurut hukum Negara diminta tidak diancam dengan pidana mati atau pidana mati tidak selalu dapat dilaksanakan ekstradisi, kecuali jika negara peminta memberikan jaminan yang cukup meyakinkan bahwa pidana mati tidak akan dilaksanakan.

j.   Menurut instansi yang berwenang terdapat sangkaan yang cukup kuat, bahwa orang yang dimintakan ekstradisinya akan dituntut, dipidana atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya, atau kewarganegaraannya, ataupun karena ia termasuk suku bangsa atau golongan penduduk tertentu.

k.  Orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau ditahan karena melakukan kejahatan lain daripada kejahatan yang karenanya ia dimintakan ekstradisinya, kecuali dengan ijin Presiden.

l.  Orang yang dimintakan ekstradisi akan diserahkan kepada negara ketiga untuk kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan sebelum ia dimintakan ekstradisi itu.

Tahukah anda, sampai saat ini sudah ada 7 (tujuh) Perjanjian Ekstradisi yang telah ditandatangani, namun yang diratifikasi baru 5 (lima), yaitu :

1.   Perjanjian Ekstradisi RI - Malaysia : UU RI No. 9 Tahun 1974
2.   Perjanjian Ekstradisi RI - Philipina : UU RI No. 10 Tahun 1976
3.   Perjanjian Ekstradisi RI - Thailand : UU RI No. 2 Tahun 1978
4.   Perjanjian Ekstradisi RI - Australia : UU RI No. 8 Tahun 1994
5.   Perjanjian Ekstradisi RI - Hongkong : UU RI No. 1 Tahun 2001
6.   Perjanjian Ekstradisi RI-Korea Selatan (belum ratifikasi)
7.  Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura yang ditandatangi tanggal 27 April 2007 di Bali belum ratifikasi.

Dan sejarah ekstradisi di Indonesia adalah sebagai berikut :

1.   Dennis Austin Standeffer, warga negara Amerika Serikat ke Philipina pada tanggal 11 Mei 2001. Tersangka diminta oleh Philipina karena terlibat beberapa kasus kejahatan di Philipina.

2. Ham Sang Won, wrga negara Korea Selatan, yang diekstradisikan ke Korea Selatan (Simplied Extradition), tanggal 11 September 2002.

3.   Ratti Fabrizio Angelo, warga negara Italia yang diekstradisikan pada bulan Oktober 2002.

4.   Ross Williem Mac Arthur, warga negara Australia, yang diekstradisikan ke Australia pada tanggal 30 Agustus 2001.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy