Langsung ke konten utama
loading...

Pencatatan Perkawinan diluar Negeri


PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 12 TAHUN 2010
TENTANG
PEDOMAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN
PELAPORAN AKTA YANG DITERBITKAN OLEH NEGARA LAIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang  :  bahwa untuk melaksanakan tertib administrasi kependudukan terhadap pelaporan dan pencatatan peristiwa penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan oleh Negara Lain;

Mengingat    :  1.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019);
2.   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhsr dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tontang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Repubiik Indonesia Nomor 4674);
4.   Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
5.   Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentangPeraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050);
6.   Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674);
7.   Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8.   Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN PELAPORAN AKTA YANG DITERBITKAN OLEH NEGARA LAIN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1.   Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk Pencatatan Sipil, Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
2.   Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3.   Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
4.   Pencatatan Sipil adalah Pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
5.   Pelaporan Perkawinan Melampaui Batas Waktu adalah pelaporan perkawinan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang melampaui 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
6.   Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD Kependudukan dan Pencatatan Sipil, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan akta.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2
Ruang Lingkup pencatatan perkawinan dan pelaporan akta pencatatan sipil yang diterbitkan oleh negara lain meliputi:
a.   perkawinan yang melampaui batas waktu;
b.   perkawinan yang ditetapkan pengadilan;
c.   perkawinan Warga Negara Asing; dan
d.   akta yang diterbitkan oleh negara lain.

BAB III
PELAPORAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN
MELAMPAUI BATAS WAKTU

Pasal 3
Pelaporan dan pencatatan perkawinan yang melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di tempat terjadinya perkawinan.


Pasal 4
(1) Persyaratan pencatatan atas pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, bagi Penduduk Warga Negara Indonesia dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.   Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan;
b.   Kartu Keluarga;
c.   KTP Suami dan Isteri;
d.   Pas Photo Suami dan Isteri berdampingan, ukuran 4x6 sebanyak 5 lembar;
e.   Kutipan Akta kelahiran Suami dan Isteri; dan
f.    Akta Perceraian bagi yang telah bercerai atau Akta Kematian atau Surat Keterangan kematian bagi yang pasangannya telah meninggal dunia.
(2) Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mendapatkan legalisasi dari pemuka agama/pendeta atau penghayat kepercayaan di tempat terjadinya perkawinan.
(3) Legalisasi atas Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 1 (satu) minggu.

Pasal 5
Pencatatan atas pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, bagi orang asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap, selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilengkapi dengan:
a.   paspor bagi suami atau isteri orang asing;
b.   izin kedutaan bagi suami atau isteri orang asing;
c.   izin dari Kedutaan Besar; dan
d.   dokumen keimigrasian.

Pasal 6
Pencatatan atas pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, bagi orang asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.   Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pada ayat (2) dan ayat (3);
b.   Surat Keterangan Tempat Tinggal;
c.   Pas Photo Suami dan Isteri;
d.   Kutipan Akta kelahiran Suami dan Isteri;
e.   Paspor bagi Suami atau Isteri orang asing; dan
f.    Izin kedutaan bagi Suami atau Isteri orang asing atau Akta Perceraian bagi yang telah bercerai atau Akta Kematian atau Surat Keterangan kematian bagi yang pasangannya telah meninggal dunia.

Pasal 7
(1) Pelaporan dan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan dengan tata cara:
a.   pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan melampirkan persyaratan;
b.   Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data;
c.   Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;
d.   Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf b diberikan kepada masing-masing suami dan isteri;
e.   suami atau istri berkewajiban melaporkan hasil pencatatan perkawinan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tempat domisilinya.
(2) Pencatatan perkawinan bagi orang asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap dan Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, dilakukan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
Penduduk yang telah melaporkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasa! 3 harus mengajukan perubahan dokumen kependudukan di tempat domisili.

Pasal 9
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

BAB IV
PENCATATAN PERKAWINAN
YANG DITETAPKAN PENGADILAN

Pasal 10
(1) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tempat diterbitkannya penetapan pengadilan.
(2)  Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:
a.   Salinan Penetapan Pengadilan yang dilegalisir;
b.   KTP suami dan isteri;
c.   Pas foto suami dan isteri;
d.   Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri; dan
e.   Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.

Pasal 11
Tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan sebagai berikut:
a.   pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan dengan melampirkan persyaratan;
b.   Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data;
c.   Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan;
d.   Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan isteri.

BAB V
PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA ASING

Pasal 12
(1) Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
(2) Pencatatan perkawinan Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memenuhi persyaratan:
a.   Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan;
b.   Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri;
c.   izin dari Perwakilan Negara yang bersangkutan bagi suami dan isteri;
d.   Paspor bagi suami dan isteri;
e.   KK dan KTP bagi Warga Negara Asing yang telah menjadi penduduk; dan
f.    Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk Warga Negara Asing pemegang KITAS.

Pasal 13
Tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dilakukan sebagai berikut:
a.   pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan dengan melampirkan persyaratan;
b.   Pejabat Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data;
c.   Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan;
d.   Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan isteri.

BAB VI
PELAPORAN AKTA PENCATATAN SIPIL
YANG DITERBITKAN OLEH NEGARA LAIN

Pasal 14
(1) Penduduk WNI yang mempunyai Akta Pencatatan Sipil yang diterbitkan oleh Negara lain, setelah kembali ke Indonesia melaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di tempat domisili yang bersangkutan.
(2)  Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memenuhi persyaratan:
a.   KK dan KTP;
b.   Bukti pelaporan dari Perwakilan Rl setempat; dan
c.   Kutipan Akta Pencatatan Sipil.

Pasal 15
(1) Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerbitkan Surat Keterangan Pelaporan berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan.
(2) Kutipan Akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud daiam Pasal 14 ayat (2) huruf c, tidak dilakukan penambahan catatan.
(3)  Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sebagai dasar pemutakhiran data kependudukan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2010
MENTERI DALAM NEGERI,
Ttd
GAMAWAN FAUZI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy