Sebagaimana diketahui, bahwasanya tujuan diaturnya Kepailitan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah :
1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya.
2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dg cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
3. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan2 yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor, atau debitor hanya menguntungkan kreditor tertentu.
4. Memberikan perlindungan kepada para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
5. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan kreditor untuk berunding membuat kesepakatan restrukturisasi hutang
Kesemuanya dengan memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam kepailitan yakni :
1. KESEIMBANGAN (UNTUK MENCEGAH DEBITUR, ATAU KREDITUR YG TiDaK JUJUR)
2. KELANGSUNGAN USAHA (MEMUNGKINKAN DEBITOR YG PROSPEKTIF TETAP DILANGSUNGKAN)
3. KEADILAN (UNTUK PARA PIHAK YANG BERKEPENTINGAN) – ASAS PARI PASSU: MEMBAGI SECARA PROPOSIONAL HARTA KEKAYAAN DEBITOR KPD K.KONKUREN (PS.1132 KUHPERDATA)
4. INTEGRASI (SISTEM HUKUM FORMIL DAN MATERIILNYA MERUPAKAN SATU KESATUAN)
Dalam kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dikenal adanya Lembaga Paksa Badan (gijzeling) yang merupakan suatu solusi dalam menghadapi debitor yang tidak kooperatif. Akan tetapi, sayangnya, hingga saat ini tidak ada satu pun permohonan gijzeling yang dikabulkan. Mengapa demikian? Hal-hal apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya? Mari kita bahas tentang hal tersebut :
Sesungguhnya, Paksa Badan (Penyanderaan - Gijzeling) sudah merupakan sarana yang sangat efektif dalam pengurusan dan penyelesaian perkara kepailitan, khususnya terhadap debitor yang tidak mempunyai iktikad baik. Permasalahanya dalam mengefektifkan lembaga gijzeling adalah masalah praktek “kedekatan atau mafia peradilan” yang masih ditemui dalam perkara-perkara di Pengadilan.
Pasal 93 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan :
(1) Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul Hakim Pengawas, permintaan Kurator, atau atas permintaan seorang Kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya Debitor Pailit ditahan, baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
(2) Perintah penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
(3) Masa penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan.
(4) Pada akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), atas usul Hakim Pengawas atau atas permintaan Kurator atau seorang Kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, Pengadilan dapat memperpanjang masa penahanan setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(5) Biaya penahanan dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit.
Dalam Pasal 95 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ditegaskan bahwasanya, Permintaan untuk menahan Debitor Pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa Debitor Pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2).
Artinya, berdasarkan ketentuan Pasal 93 jo. Pasal 95 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, ada persyaratan khusus dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan gijzeling kreditor yakni :
* Debitor berupaya tidak bersikap kooperatif dengan kurator dan atau berupaya menghilangkan harta pailit seperti semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik Debitor.
1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya.
2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dg cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
3. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan2 yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor, atau debitor hanya menguntungkan kreditor tertentu.
4. Memberikan perlindungan kepada para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
5. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan kreditor untuk berunding membuat kesepakatan restrukturisasi hutang
Kesemuanya dengan memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam kepailitan yakni :
1. KESEIMBANGAN (UNTUK MENCEGAH DEBITUR, ATAU KREDITUR YG TiDaK JUJUR)
2. KELANGSUNGAN USAHA (MEMUNGKINKAN DEBITOR YG PROSPEKTIF TETAP DILANGSUNGKAN)
3. KEADILAN (UNTUK PARA PIHAK YANG BERKEPENTINGAN) – ASAS PARI PASSU: MEMBAGI SECARA PROPOSIONAL HARTA KEKAYAAN DEBITOR KPD K.KONKUREN (PS.1132 KUHPERDATA)
4. INTEGRASI (SISTEM HUKUM FORMIL DAN MATERIILNYA MERUPAKAN SATU KESATUAN)
Dalam kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dikenal adanya Lembaga Paksa Badan (gijzeling) yang merupakan suatu solusi dalam menghadapi debitor yang tidak kooperatif. Akan tetapi, sayangnya, hingga saat ini tidak ada satu pun permohonan gijzeling yang dikabulkan. Mengapa demikian? Hal-hal apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya? Mari kita bahas tentang hal tersebut :
Sesungguhnya, Paksa Badan (Penyanderaan - Gijzeling) sudah merupakan sarana yang sangat efektif dalam pengurusan dan penyelesaian perkara kepailitan, khususnya terhadap debitor yang tidak mempunyai iktikad baik. Permasalahanya dalam mengefektifkan lembaga gijzeling adalah masalah praktek “kedekatan atau mafia peradilan” yang masih ditemui dalam perkara-perkara di Pengadilan.
Pasal 93 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan :
(1) Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul Hakim Pengawas, permintaan Kurator, atau atas permintaan seorang Kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya Debitor Pailit ditahan, baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
(2) Perintah penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
(3) Masa penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan.
(4) Pada akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), atas usul Hakim Pengawas atau atas permintaan Kurator atau seorang Kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, Pengadilan dapat memperpanjang masa penahanan setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(5) Biaya penahanan dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit.
Dalam Pasal 95 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ditegaskan bahwasanya, Permintaan untuk menahan Debitor Pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alasan bahwa Debitor Pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2).
Artinya, berdasarkan ketentuan Pasal 93 jo. Pasal 95 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, ada persyaratan khusus dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan gijzeling kreditor yakni :
* Debitor berupaya tidak bersikap kooperatif dengan kurator dan atau berupaya menghilangkan harta pailit seperti semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik Debitor.
* Debitor Pailit tidak menghadap untuk memberikan keterangan kepada Hakim Pengawas, Kurator, atau panitia kreditor meskipun telah dipanggil secara resmi, patut dan layak.
*Debitor Pailit tidak hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang.
*Kreditor tidak dapat meminta keterangan dari Debitor Pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui Hakim Pengawas
Persyaratan khusus mengenai pengabulan permohonan gijzeling juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan seperti dalam pasal-pasal PERMA dimaksud yakni :
a) Pasal 3 ayat (1) : Paksa Badan tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun.
b) Pasal 4 : Paksa Badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Bahwa kemudian permohonan gijzeling ditolak oleh Hakim, asumsi saya, sebaiknya kreditor melakukan upaya pidana terdapat debitor yang tidak kooperatif tersebut. Sesungguhnya tindakan tidak kooperatifnya debitor dapat dijadikan alasan untuk menuntut debitor tersebut secara pidana. Perlu diketahui dalam hukum pidana dikenal pula dengan penyitaan dan penyitaan pidana, secara hukum, lebih didahulukan daripada sita dalam perdata. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 39 KUHAP yang menegaskan sebagai berikut :
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Persyaratan khusus mengenai pengabulan permohonan gijzeling juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan seperti dalam pasal-pasal PERMA dimaksud yakni :
a) Pasal 3 ayat (1) : Paksa Badan tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun.
b) Pasal 4 : Paksa Badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Bahwa kemudian permohonan gijzeling ditolak oleh Hakim, asumsi saya, sebaiknya kreditor melakukan upaya pidana terdapat debitor yang tidak kooperatif tersebut. Sesungguhnya tindakan tidak kooperatifnya debitor dapat dijadikan alasan untuk menuntut debitor tersebut secara pidana. Perlu diketahui dalam hukum pidana dikenal pula dengan penyitaan dan penyitaan pidana, secara hukum, lebih didahulukan daripada sita dalam perdata. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 39 KUHAP yang menegaskan sebagai berikut :
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id