Langsung ke konten utama
loading...

Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata


Sebagaimana kita ketahui, PK atas perkara pidana diatur berdasarkan Pasal 263 KUHAP yang hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan :

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

d. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Jauh berbeda dengan pengaturan Permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana sebagaimana diatur Pasal 263 KUHAP di atas, Permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980.

Permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

(a) apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.

(b) apabila setelah perkara-perkara diputus, diketemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan, pada waktu perkara diperiksa tidak dapat diketemukan (novum).
(c) apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.

(d) apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.

(e) apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan lainya saling bertentangan.

(f) apabila dalam suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan lainnya.

Adapun tenggang/ jangka waktu pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata, Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 pada pokoknya menyatakan :

(a) Dalam putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat, keterangan saksi palsu dan atau bukti palsu, diajukan dalam tenggang waktu selama 6 (enam) bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap atau sejak hari diketahui/terjadinya hal-hal/alasan-alasan yang dimaksud, yang hari serta tanggalnya dapat dibuktikan secara tertulis.

(b) Dengan alasan adanya novum, Permohonan Peninjauan Kembali diajukan dalam tenggang waktu selama 6 (enam) bulan sejak diketahui atau diketemukannya suatu novum, yang hari serta tanggalnya dapat dibuktikan secara tertulis.

(c) Dalam hal putusan dianggap mengabulkan yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut atau putusan belum memutus suatu bagian dari tuntutan/ gugatan tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya, dan atau putusan hakim perdata tersebut mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan lainnya maka Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan hakim perdata itu harus diajukan dalam tempo waktu 6 (enam) bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(d) Untuk alasan karena adanya 2 (dua) putusan Pengadilan yang sama tingkatannya, dalam perkara yang sama dengan subjek/ objek hukum yang sama namun antara isi satu putusan pengadilan dengan isi putusan pengadilan lainnya saling bertentangan, Permohonan Peninjauan Kembali atas alasan tersebut diajukan dalam tenggang waktu selama 6 (enam) bulan sejak putusan yang ter akhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan Pengadilan Negeri yang bersangkutan akan memberitahukan secepatnya dengan memberikan atau mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali tersebut kepada pihak lawan dari pemohon.

Perlu menjadi perhatian bagi masyarakat, khususnya bagi Advokat, Ketentuan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 secara jelas dan tegas bahwa Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Hakim dan dalam Pasal 6-nya, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982, jelas-jelas menyatakan bahwa Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja. Jadi, jangan pernah menghalangi upaya eksekusi Pengadilan dengan mengatakan “menunggu putusan permohononan peninjauan kembali di Mahkamah Agung” atau mengupayakan Permohonan Peninjauan Kembali secara berulang-ulang karena hal tersebut hanya sia-sia belaka. Terkecuali, ada keajaiban, dalam hal ini perubahan kebijakan dari Hakim Agung atau ada upaya “sim sa la bim” ….iiiihhh (hari guna suap menyuap .... ke laut aja deh)


* untuk mereka yang menganggap postingan ini penting, silahkan mendownloadnya di http://www.ziddu.com/download/6853082/PeninjauanKembalidalamPerkaraPerdata.doc.html, silahkan dibajak, tapi, jangan dikomersilkan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy