Langsung ke konten utama
loading...

FROM HERO TO ZERO


“Certainty is a legal question that can only be a normative, not sociological. Certainty of law is normative when a rule is created and enacted exactly as it set a clear and logical”.

Mengikuti kasus prita mulyasari – seorang yang menulis keluhan tentang pelayanan dokter dan rumah sakit melalui media internet – yang berujung pada penahanan atas dirinya karena dianggap sebagai pencemaran nama baik, menarik untuk dikaji dan memang patut menjadi perhatian kita bersama. Terlebih pada kasus tersebut majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut menyatakan bahwasanya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sebab, beberapa peraturan pemerintah yang dimandatkan dalam Undang-Undang ini belum terbentuk. Pertimbangan hakim tersebut terasa janggal karena Pasal 54 Ayat (1) Undang-Undang tersebut secara jelas dan tegas menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”.

Pasal 45 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menyatakan :

“Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam :

a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Berita Negara Republik Indonesia;
c. Lembaran Daerah; atau
d. Berita Daerah.”

Kenyataannya, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2008 dengan Nomor 58 pada tanggal 21 April 2008. Dengan ketentuan yang menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”, artinya jika dilakukan penafsiran Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale interpretatie), cukup jelas bahwasanya UU ITE langsung memiliki daya laku dan daya ikat setelah diundangkan . Jadi tidak perlu adanya penafsiran yang lain.

Pasal 54 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 memang menyatakan, “Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini”. Apakah penafsiran dari ketentuan ini membenarkan bahwasanya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat ?

Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menegaskan bahwasanya, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.

Dalam sistematika tehnik penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjadi lembaran satu kesatuan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, butir 124 – 128 menyatakan :

124. Pada dasarnya setiap Peraturan Perandang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan.

125. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan dengan:

a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; Contoh:

“Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000”.

b. menyerahkan penetapan saat mulal berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih rendah. Contoh:

“Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden”.

c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah ... (tenggang waktu) sejak ... Contoh:

“Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan”

127. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Contoh:

“Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”.

128. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan:

a. menetapkan bagian-bagian mana dalam Peraturan Perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya; Contoh :

“Pasal 45

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal…”

Berdasarkan ketentuan sistematika tehnik penyusunan peraturan perundang-undangan di atas, jelas dan tegas bahwasanya penafsiran yang menyatakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat adalah penafsiran yang keliru. Sesat dan menyesatkan !!!.

Merujuk Interpretasi Gramatikal ketentuan Pasal 54 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008, jelas yang dimaksud “Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan pasal tersebut adalah peraturan pemerintah yang materinya untuk menjalankan ketentuan yang terkait dengan :

1. Lembaga Sertifikasi Keandalan (pasal 10 UU ITE)
2. Tanda Tangan Elektronik (pasal 11 UU ITE)
3. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (pasal 13 UU ITE)
4. Penyelenggaraan Sistem Elektronik (pasal 16 UU ITE)
5. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (pasal 17 UU ITE)
6. Penyelenggara Agen Elektronik (pasal 22 UU ITE)
7. Pengelolaan Nama Domain (pasal 24 UU ITE),
8. Intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik (pasal 31 UU ITE)
9. Peran Pemerintah dalam memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, serta menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi (pasal 40 UU ITE).

Singkat kata, apa pun alasannya, terlepas pro dan kontra atas kasus Prita Mulyasari, hendaknya ketentuan hukum tetap dipertahankan sebagaimana mestinya untuk mencapai kepastian hukum itu sendiri. Jika pada akhirnya kepastian hukum terabaikan, apalagi karena adanya desakan publik yang bersifat politis, maka jelas .. Hukum Indonesia tak lebih dari “Hero to Zero” …. ADA UNTUK TIADA .. atau memang benar pameo di masyarakat selama ini, “hukum ada untuk dilanggar” !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy