Dalam suatu perjanjian, pada umumnya, tercantum klasul tentang penyelesaian perselisihan yang pada umumnya menunjuk keberadaan peran Badan Arbitrase Nasional (BANI) sebagai penyelesaian perselisihan. Penunjukkan peran Arbitrase ini tidak lebih dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat yang artinya tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Benarkah demikian ?
Pada kenyataannya, hal tersebut diatas tidak mudah pula diterapkan dalam praktek. Kekuatan keputusan Badan Arbitrase, dalam prakteknya ternyata banyak yang dibatalkan oleh Pengadilan.
Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA menyatakan Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan atas putusan Badan Arbitrase, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Pasal 4 UU No. 30/ 1999 mengatur tentang persetujuan bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang kepada Badan Arbitrase untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Sementara Pasal 5 UU No. 30/ 1999 mengatur tentang sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Pasal 5 UU No. 30/ 1999 juga mengatur tentang sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Jika hasil dari pemeriksaan ternyata, putusan arbitrase melanggar ketentuan pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30/ 1999 maka putusan Arbitrase tersebut dapat dibatalkan. Terkait dengan pembatalan putusan Arbitrase tersebut, selain merupakan kewenangan Pengadilan tatkala memeriksa putusan Arbitrase tersebut, pihak yang dirugikan atas putusan Arbitrase tersebut juga dapat meminta putusan Arbitrase untuk dibatalkan. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 70 UU No. 30/ 1999 yang menyatakan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Berdasarkan uraian diatas, kalau pada akhirnya pelaksanaan putusan Arbitrase digantungkan pada persetujuan/ pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri, masih efektifkan bahwa putusan BANI merupakan putusan hukum yang efektif bagi para pihak yang bersengketa ? Kalau pada akhirnya, putusan BANI dapat dibatalkan oleh Pengadilan atau oleh salah satu pihak yang dirugikan, bukankan lebih baik penyelesaian masalahnya langsung ke Pengadilan ? mengingat dari segi biaya dan waktu juga, penyelesaian melalui mekanisme BANI tidak lebih murah dan cepat daripada mekanisme penyelesaian melalui Pengadilan.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id