Usai menjalani proses persidangan cerai, terkadang masih ada suatu permasalahan yang masih menyelimuti hubungan orang tua dengan anak. Masalah itu adalah masalah perebutan hak asuh anak. Perebutan hak asuh anak terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan, baik dalam hal hak asuh anak yang ditetapkan melalui putusan Pengadilan jatuh pada salah satu orang tua maupun dalam hal putusan Pengadilan menetapkan hak asuh anak dilakukan secara bersama-sama oleh kedua orang tua.
Atas nama dan atas kepentingan anak pula, mereka, kedua orang tua dapat saling mengklaim satu sama lain seperti melalaikan kewajibannya sebagai orangtua, telah menelantarkan si anak dan sebagainya. Dari saling tuduh menuduh tidak becus mengurus anak, cegah mencegah kunjungan salah satu orangtua, pembatasan waktu bersama sampai yang lebih parah yakni saling mempengaruhi pola pikir dan psikologis anak tentang perilaku buruk ayah/ ibunya, satu sama lain berupaya agar si anak berada dalam perlindungannya. Terkadang, kekeruhan perebutan hak asuh anak tersebut berakhir pada upaya penculikan dan penyekapan si anak yang dilakukan salah satu orangtuanya. Dengan dalih untuk kepentingan si anak, salah satu orang tua sepertinya menganggap sah upaya penculikan dan penyekapan anak tersebut. Mereka pun mengklaim bahwa hukum tidak dapat menyatakan mereka sebagai penculik karena yang diculik adalah anaknya sendiri dan pelakunya adalah orangtuanya sendiri. Benarkah demikian adanya ?
Dalam penculikan dan penyekapan si anak yang dilakukan oleh salah satu orangtua kandung si anak, aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai aparatur Pengadilan terkesan terlalu bersikap hati-hati (atau tepatnya bersikap bingung) untuk menindak pelakunya. Kalaupun dapat memprosesnya, pada akhirnya malah berujung agar salah satu orangtua maupun kedua orangtua kandung mau berdamai. Upaya perdamaian dalam konflik perebutan hak asuh anak tentu merupakan upaya yang paling praktis dan mudah dilakukan tetapi tidak menyentuh subtansi hukum yang ada yakni kepentingan si anak. Yang berdamai dalam konflik perebutan hak asuh anak adalah kedua orang tua si kandung, bukan si anak kandung dengan kedua orangtua kandungnya !
Berdasarkan uraian di atas, adakah aturan hukum dapat menyelesaikan konflik perebutan hak asuh anak ?
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas seperti nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan adanya konflik perebutan hak asuh yang dilakukan oleh kedua orangtua kandungnya, tentunya konflik tersebut telah merusak kepentingan dan perkembangan hidup si anak.
Atas nama dan atas kepentingan anak pula, mereka, kedua orang tua dapat saling mengklaim satu sama lain seperti melalaikan kewajibannya sebagai orangtua, telah menelantarkan si anak dan sebagainya. Dari saling tuduh menuduh tidak becus mengurus anak, cegah mencegah kunjungan salah satu orangtua, pembatasan waktu bersama sampai yang lebih parah yakni saling mempengaruhi pola pikir dan psikologis anak tentang perilaku buruk ayah/ ibunya, satu sama lain berupaya agar si anak berada dalam perlindungannya. Terkadang, kekeruhan perebutan hak asuh anak tersebut berakhir pada upaya penculikan dan penyekapan si anak yang dilakukan salah satu orangtuanya. Dengan dalih untuk kepentingan si anak, salah satu orang tua sepertinya menganggap sah upaya penculikan dan penyekapan anak tersebut. Mereka pun mengklaim bahwa hukum tidak dapat menyatakan mereka sebagai penculik karena yang diculik adalah anaknya sendiri dan pelakunya adalah orangtuanya sendiri. Benarkah demikian adanya ?
Dalam penculikan dan penyekapan si anak yang dilakukan oleh salah satu orangtua kandung si anak, aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai aparatur Pengadilan terkesan terlalu bersikap hati-hati (atau tepatnya bersikap bingung) untuk menindak pelakunya. Kalaupun dapat memprosesnya, pada akhirnya malah berujung agar salah satu orangtua maupun kedua orangtua kandung mau berdamai. Upaya perdamaian dalam konflik perebutan hak asuh anak tentu merupakan upaya yang paling praktis dan mudah dilakukan tetapi tidak menyentuh subtansi hukum yang ada yakni kepentingan si anak. Yang berdamai dalam konflik perebutan hak asuh anak adalah kedua orang tua si kandung, bukan si anak kandung dengan kedua orangtua kandungnya !
Berdasarkan uraian di atas, adakah aturan hukum dapat menyelesaikan konflik perebutan hak asuh anak ?
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas seperti nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan adanya konflik perebutan hak asuh yang dilakukan oleh kedua orangtua kandungnya, tentunya konflik tersebut telah merusak kepentingan dan perkembangan hidup si anak.
Ditegaskan, dalam Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Artinya, berdasarkan UU Perlindungan Anak, dalam kondisi konflik perebutan hak asuh anak, terlebih adanya upaya penculikan dan penyekapan anak oleh orangtuanya sendiri sebagai pelakunya dimana pada akhirnya berimbas pada terganggunya kepentingan si Anak, pihak berwajib, dalam hal ini Kepolisian maupun Pengadilan, dapat bertindak untuk memproses salah satu atau kedua orangtua si anak secara hukum. Bukan malah berupaya mendamaikan kedua orangtua. Pihak berwajib harus tegas dan konsisten menerapkan UU Perlindungan Anak mengingat hak anak juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Jika dalam konflik perebutan hak asuh anak, pihak berwajib hanya dan selalu melulu mengupayakan perdamaian bagi si kedua orangtua, tentunya kita patut mempertanyakan, apakah UU Perlindungan Anak hanya aturan hukum yang bersifat aksesoris belaka ?
Pasal 14 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Dalam penjelasannya, dikatakan bahwa pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 14 UU Perlindungan Anak tersebut tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya. Berpijak dari Pasal inilah seharusnya Kepolisian maupun Pengadilan dapat bertindak tegas terhadap orangtua kandung yang melakukan penculikan dan penyekapan terhadap anak kandungnya sendiri. Jika tidak bisa bersikap tegas, mungkin aparatur penegak hukum harus ditatar ulang kembali tentang hak-hak anak.
Mas, tulisan ini sangat menyentuh bagi saya sebagai ayah dari anak yang masih dibawah umur.
BalasHapus