Langsung ke konten utama
loading...

Masihkan Hukum Mengayomin Kita ??????

Visi Departemen Kehakiman Repubik Indonesia adalah �Terwujudnya Sistem dan Politik Hukum Nasional yang mantap dalam rangka tegaknya Supremasi Hukum dan HAM untuk menunjang tercapainya kehidupan masyarakat yang aman, bersatu, rukun, damai, adil, dan sejahtera.�



Sementara, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia mempunyai semangat idealisme, "Mewujudkan Supremasi Hukum melalui Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, efektif, dan efisien serta mendapatkan kepercayaan publik. Profesionial dalam memberi layanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik".



Idealisme Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud di atas jelas merupakan simbol betapa supremasi hukum telah diterapkan di Indonesia. Tapi benarkah demikian adanya ??


Lihat kasus Pak Harto, bagaimana Pemerintah bisa mengabaikan idealisme Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung.



Lihat pula bagaimana mudahnya Pemerintah mencetuskan wacana untuk memberikan amnesti (pengampunan) atau abolisi (penghentian tuntutan pidana terhadap seseorang yang sedang diajukan ke pengadilan) kepada Pak Harto padahal persidangan terhadap status Pak Harto sebagai tersangka belum mendapat keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.


Penuntasan status hukum Pak Harto sebagai tersangka korupsi seharusnya dituntaskan terlebih dahulu karena apapun dalilnya kasus tersebut sudah masuk ke wilayah Pengadilan dan sudah menjadi kewajiban Pengadilan untuk menetapkan salah atau benarnya Pak Harto. Terlebih lagi penuntasan kasus korupsi Pak Harto sudah ditetapkan dan menjadi amanat MPR (Tap No XI Tahun 1998). Jadi atas nama hukum dan demi menjaga reformasi, pengadilan atas kasus Pak Harto harus dilaksanakan.



Kini Hukum di Indonesia patut dipertanyakan, masihkah hukum menjadi pengayom di negeri ini. Jika desakan/ rekomendasi MPR kepada pemerintah dan DPR agar membuat undang-undang yang menyatakan penghentian perkara hukum Soeharto ditengah proses persidangan Pak Harto tersebut benar dijalankan maka jelas KEKUASAAN POLITIK ADALAH PENGAYOM BAGI MASYARAKAT INDONESIA.
Dan sudah seharusnya kita lupakan semua prinsip-prinsip hukum seperti "equality before the law" (azas persamaan di depan hukum), (presumption of innocence) azas praduga tak bersalah dan lain sebagainya karena toh akan percuma kita berkoar sebagai negara hukum jika ternyata hukum itu sendiri tidak mengayomi kita sebagai warga negara.

Komentar

  1. Mas wahyu, woiiii!!!... ndak salah nih anda nulis? : "" Jika desakan/ rekomendasi MPR kepada pemerintah dan DPR agar membuat undang-undang yang menyatakan penghentian perkara hukum Soeharto ditengah proses persidangan Pak Harto tersebut benar dijalankan maka jelas KEKUASAAN POLITIK ADALAH PENGAYOM BAGI MASYARAKAT INDONESIA. *** bukannya : KEKUASAAN POLITIK TIDAK MENJADI PENGAYOM BAGI MASYARAKAT INDONESIA?

    Lagian apa susahnya sih? anda mau menegakkan supremasi hukum di Indonesia dalam menangani kasus pak harto? gampang kok,.... kalo aku jadi Presiden nih ya : Aku bilang sama pengadilan Proses hukum buat pak harto! JALANKAN sampe tuntas, AMAN KAN? Selesai pak harto dijatuhi hukuman, aku atur sebisa bisanya supaya bulan juli semua proses selesai,
    Bulan Agustus tanggal 17, pak harto aku pake hak aku sebagai presiden, aku kasih pak harto AMNESTI!! , WHAHAHAHAHAHA! clean and clever kan?... Pak harto aman dan Supremasi hukum terjaga utuh toh? .. hehehehe

    Negara kita kan sakti, Oknum2 kita kan juga semua jago membelokkan hukum, ituu karena bahasa indonesia kita ini RANCU, banyak yang multipurpose sentences, multi tafsir dll... mari mulai lah bebenah diri kalo pake bahasa indonesia mas... yang tadi diatas aku paste lagi.. apa bener begitu?

    Salam ah...

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy