“Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.”
~Pasal 3 huruf b Kode Etik Advokat~
Dalam perkara perceraian, sesungguhnya bukan saja berakibat putusnya tali perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dalam suatu rumah tangga tapi juga dapat menimbulkan hal-hal yang lain yang mau tidak mau tetap menjadi suatu kewajiban.
Formalitas hukum, pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, secara tegas dan jelas menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; … dst”.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Perhatikan point huruf a dan huruf b pada ketentuan pasal 41 di atas, tegas-tegas hukum tidak menampikkan adanya kepentingan anak yang terabaikan akibat suatu perceraian. Alangkah naifnya, hanya karena ego dan emosi suami-istri, anak yang harus menjadi korban dalam perceraian. Sungguh kebodohan yang penuh kesesatan bila orangtua yang mengatasnamakan cinta dan sayang pada anak, lebih memilih perceraian sebagai jalan penyelesaian dari perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangganya.
Dalam perkara perceraian, advokat sebagai profesi yang memberi jasa hukum seharusnya lebih mengutamakan dan memberikan pencerahan kepada kliennya tentang akibat-akibat dari suatu perceraian. Faktanya, berdasarkan hal-hal yang sering ditemukan dalam beberapa kasus perceraian yang saya tanganin, mereka yang berkeinginan untuk bercerai hanya didasarkan pada emosi sesaat. Mereka hanya bingung dan jenuh atas perselisihan yang timbul didalam kehidupan rumah tangganya. Perselisihan dan pertengkaran yang sesungguhnya dapat diupayakan penyelesaiannya bila masing-masing dengan kondisi “dingin” menyadari hak serta kedudukannya dalam rumah tangga tersebut. Laksana api disiram bensin, emosi mereka akan meletup bahkan meledak jika ada yang mendukung mereka untuk bercerai.
Advokat memang bukan konsultan perkawinan yang memang diminta untuk melakukan konseling atas praha perkawinan yang dihadapin kliennya namun sudah seharusnya advokat mau melakukan hal tersebut. Officium nobile yang disandang dalam profesi advokat akan tampak jika advokat tersebut dapat mendamaikan dan merukunkan kembali suami-istri yang bercerai tersebut. Jika hanya semata-mata menjalankan profesi, rasanya tak pantas advokat tersebut menyandang officium nobile.
~Pasal 3 huruf b Kode Etik Advokat~
Dalam perkara perceraian, sesungguhnya bukan saja berakibat putusnya tali perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dalam suatu rumah tangga tapi juga dapat menimbulkan hal-hal yang lain yang mau tidak mau tetap menjadi suatu kewajiban.
Formalitas hukum, pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, secara tegas dan jelas menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; … dst”.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Perhatikan point huruf a dan huruf b pada ketentuan pasal 41 di atas, tegas-tegas hukum tidak menampikkan adanya kepentingan anak yang terabaikan akibat suatu perceraian. Alangkah naifnya, hanya karena ego dan emosi suami-istri, anak yang harus menjadi korban dalam perceraian. Sungguh kebodohan yang penuh kesesatan bila orangtua yang mengatasnamakan cinta dan sayang pada anak, lebih memilih perceraian sebagai jalan penyelesaian dari perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangganya.
Dalam perkara perceraian, advokat sebagai profesi yang memberi jasa hukum seharusnya lebih mengutamakan dan memberikan pencerahan kepada kliennya tentang akibat-akibat dari suatu perceraian. Faktanya, berdasarkan hal-hal yang sering ditemukan dalam beberapa kasus perceraian yang saya tanganin, mereka yang berkeinginan untuk bercerai hanya didasarkan pada emosi sesaat. Mereka hanya bingung dan jenuh atas perselisihan yang timbul didalam kehidupan rumah tangganya. Perselisihan dan pertengkaran yang sesungguhnya dapat diupayakan penyelesaiannya bila masing-masing dengan kondisi “dingin” menyadari hak serta kedudukannya dalam rumah tangga tersebut. Laksana api disiram bensin, emosi mereka akan meletup bahkan meledak jika ada yang mendukung mereka untuk bercerai.
Advokat memang bukan konsultan perkawinan yang memang diminta untuk melakukan konseling atas praha perkawinan yang dihadapin kliennya namun sudah seharusnya advokat mau melakukan hal tersebut. Officium nobile yang disandang dalam profesi advokat akan tampak jika advokat tersebut dapat mendamaikan dan merukunkan kembali suami-istri yang bercerai tersebut. Jika hanya semata-mata menjalankan profesi, rasanya tak pantas advokat tersebut menyandang officium nobile.
Komentar
Posting Komentar
Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id