Langsung ke konten utama
loading...

Ruang Sidang Khusus Untuk Anak

“Lebih baik terlambat daripada tidak melakukan sesuatu pun”, suatu kalimat tanggapan yang mungkin patut kita berikan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang baru-baru ini menyediakan ruang pengadilan khusus untuk perkara yang menyangkut terdakwa anak.

Belajar dari jalannya proses persidangan dengan terdakwa anak selama ini memang sudah saatnya pengadilan-pengadilan negeri segera menyediakan ruang pengadilan dan ruang tahanan khusus untuk terdakwa anak mengingat hal tersebut merupakan tuntutan dari UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 yang mengakomodasi perbedaan system antara persidangan dengan terdakwa usia dewasa dan usia anak-anak.

Tentunya kita tidak ingin perkara Raju – perkara dengan terdakwa anak yang pernah digelar di Pengadilan Negeri Medan, terulang kembali. Terlepas dari kontroversi seputar kasus tersebut, proses persidangan perkara yang menyangkut terdakwa anak adalah proses persidangan yang menyangkut psikologis anak pada khususnya dan berlakunya azas praduga tak bersalah pada umumnya. Perlu disadari bahwasanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Karena itulah, berdasarkan Pasal 10 UU No. 3/1997 seorang hakim yang memimpin persidangan anak dituntut mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Artinya, dalam memimpin persidangan, Hakim harus memahami tentang pembinaan anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif, dan simpatik. Hakim juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak serta berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang mempengaruhi kehidupan anak. Suatu tuntutan dari undang-undang yang mungkin sulit terpenuhi oleh hakim karier yang selain tentunya harus memiliki pengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Kembali pada topik tentang ruang pengadilan anak yang baru disediakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ternyata walaupun telah 10 tahun diundang-undangkan, lingkungan peradilan umum tampaknya masih sulit untuk mengakomodasi ketentuan-ketentuan mengenai sidang pengadilan anak. Hal ini bisa dilihat masih sedikit (bahkan mungkin tidak ada) pengadilan negeri yang benar-benar menyediakan ruang sidang dan ruang tahanan khusus anak. Yang sangat sering terlihat dan pada umumnya, anak-anak tetap disatukan dengan orang dewasa !!. Tentunya sudah menjadi harapan kiranya seluruh peradilan umum segera menyiapkan ruang sidang dan ruang tahanan khusus anak-anak. Sekali lagi, sudah menjadi tuntutan undang-undang. Tinggalkan budaya birokrasi yang lamban. Ini menyangkut generasi muda yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional

Komentar

  1. Anonim2:52 AM

    Membahas Ulang Hak Pengasuhan Anak

    Perceraian sering memunculkan masalah susulan berupa hak pengasuhan atas anak. Banyak penelitian, termasuk oleh Connecticut Governor's Commission on Divorce, Custody and Children (2002), menyimpulkan bahwa proses penentuan hak asuh tidak hanya berefek stressful bagi orangtua, melainkan juga traumatis bagi anak-anak. Atas dasar itu, putusan tentang hak pengasuhan anak perlu didahului pertimbangan komprehensif.

    Problemnya, terdapat sejumlah faktor yang memperumit ihwal hak asuh ini. Pertama, ketegangan dalam persidangan kasus perceraian sering mendistorsi persepsi suami dan istri. Berlangsung proses filter mental, yakni masing-masing pihak menginventarisasi kebaikan pribadi seraya menonjolkan keburukan pihak lawan.

    Egoisme itu bersumber dari diingkarinya prinsip tunggal universal dalam setiap wacana tentang proses tumbuh kembang anak: perlindungan, pengasuhan, dan pemeliharaan anak harus didasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Argumentasi suami dan istri cenderung menafikan kebutuhan bahkan aspirasi anak itu sendiri.

    Kedua, interpretasi atas hak asuh dalam hukum Islam juga menjadi persoalan tersendiri. Sesuai Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105, saat terjadi perceraian, hak peng-asuhan anak yang belum mampu membedakan mana baik dan buruk ada pada ibu. Setelah anak mumayiz, ia bebas memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya. Masalahnya, kriteria usia dan perilaku untuk mumayiz beragam tergantung mazhab.

    Namun, mengutip Ketua Komisi Hukum dan Advokasi Komnas Perlindungan Anak, Muhammad Joni (2006), "hak pemeliharaan anak menurut versi Pasal 105 KHI itu-bukan ketentuan yang imperatif, namun bisa saja dikesampingkan dan diabaikan". Ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa bapak maupun ibu memiliki hak setara sebagai orangtua. Yang terpenting adalah kemampuan orangtua untuk mengasuh dan memelihara anak.

    Dalam praktek, secara umum hakim kasus perceraian di Indonesia masih ragu-ragu menghasilkan putusan yang "tidak biasa". Sering dilandasi sejumlah tafsiran bahwa kodrat ibu menjadikannya sebagai manusia yang sertamerta dilengkapi dengan jiwa asih. Hanya kondisi perilaku ibu yang ekstrem yang dapat memberanikan hakim untuk memutuskan bahwa hak pengasuhan diberikan kepada bapak.
    Hak pengasuhan otomatis (by default) diperuntukkan kepada ibu kiranya sangat relevan dengan keadaan masa silam, di mana para suami menghabiskan banyak waktu mereka untuk beraktivitas dalam jangka waktu lama di luar rumah, sementara istri berperan domestik. Pembagian peran seperti itu selaras dengan riset Burns, Mitchel, dan Obradovich (1989). Ketiganya menyimpulkan ayah sebagai agen utama dalam sex typing, sementara ibu adalah figur yang paling bertanggung jawab dalam aspek manajerial pengasuhan.

    Tetapi, tatkala peran gender sudah berubah tajam, maka relevansi tafsiran tentang hak pengasuhan dipertanyakan kembali. Jika tidak diindahkan, dikhawatirkan interpretasi tekstual atas hukum Islam hanya akan mengesankan Islam sebagai agama yang bias gender.

    Ketiga, protokol penentuan hak pengasuhan di Indonesia belum memadai. Di banyak negara, evaluasi atas akses dan hak pengasuhan anak melibatkan proses assessment yang komprehensif. Para pihak maupun lembaga peradilan dapat menunjuk seorang asesor independen guna melakukan cermatan multiperspektif atas kesiapan suami dan istri.

    American Psychological Association (APA) juga menyusun Guidelines for Child Custody Evaluations in Divorce Proceedings. Semua inisiatif tersebut dilakukan untuk memenuhi prinsip kepentingan terbaik anak dengan cermatan pengetahuan ilmiah yang terukur.

    Solusi Komprehensif Seimbang Lembaga peradilan Indonesia masih terpaku pada rumusan bahwa hak pengasuhan anak jatuh ke salah satu pihak. Konvensi ini menyeret anak ke lingkaran pusat pertikaian suami istri. Alternatif yang perlu lebih disosialisasikan adalah penerapan hak pengasuhan bersama. Dengan joint custody, bapak dan ibu memiliki hak serta tanggungjawab yang sama dalam membuat keputusan tentang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Hak bersama kian tepat apabila relasi bapakanak serta relasi ibuanak tidak bermasalah dan kedua pihak mengekspresikan cinta yang sama kepada anak-anak.

    Hak pengasuhan bersama dapat meminimalkan konflik yang timbul akibat perceraian (APA, 2002). Psikolog Sheik Tinman (2003) bahkan menegaskan, anak korban perceraian perlu melewatkan waktu yang sama dengan bapaknya agar bisa mendapatkan gambaran model peran yang memadai dalam rangka membangun fondasi psikologis yang sehat dan seimbang bagi diri anak.

    Joint custody menjadi solusi praktis guna mengatasi masih kurangnya basis pengetahuan ilmiah dalam proses penentuan hak pengasuhan anak. Secara mendasar, putusan macam inilah yang benar-benar sebangun dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002.

    Reza Indragiri Amriel Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Trainer Sesi "Penanganan Trauma Anak" pada Indonesia Heritage Foundation

    (22 February 2007 , Gatra, Page : 46)

    BalasHapus
  2. Anonim2:54 AM

    KOMPAS - Jumat, 24 Februari 2006

    Anak Bukan Miniatur Dewasa


    Reza Indragiri Amriel

    Salah satu berita Kompas (22/2/2006). ”Raju Masih Kecil Kok Sudah Dipenjara...”, ”amat tidak menyenangkan” untuk dibaca. Dari judul berita itu, pembaca dapat menangkap, sang penulis sedang mendeskripsikan sebuah fenomena tidak lazim dalam praktik hukum di Medan, Sumatera Utara.

    Karena terlibat perkelahian, Muhammad Azwar alias Raju (8), Januari lalu terpaksa menjalani proses hukum laiknya orang dewasa. Disebut laiknya orang dewasa karena Raju antara lain harus menghadapi sejumlah pertanyaan hakim. Keguncangan psikologis Raju tidak dipedulikan. Kerinduan untuk kembali sekolah tak terpenuhi, bahkan Raju harus mendekam di tahanan. Lawan berkelahinya, Armansyah, sama sekali tidak melewati ”mekanisme” keadilan serupa.

    Di mata hukum, siswa kelas III SD itu tak ubahnya penjahat, hak-haknya dicabut, diasingkan dari lingkungan yang dianggap kriminogenik: rumah, sekolah, dan komunitas. Orangtuanya pun tidak dipercaya mampu memperbaiki perilaku anak itu. Jadi, ketika Raju sudah memiliki catatan kejahatan (criminal record), keluarganya sudah menjelma bagai keluarga dengan pola asuh patologis!

    Tingkah laku agresif pada usia dini merupakan karakteristik paling signifikan yang menjadi prediktor bagi kenakalan anak dan remaja. Kenakalan kronis apalagi jika mengandung unsur kekerasan pada gilirannya menjadi prediktor bagi perilaku kejahatan di masa dewasa. Meski demikian, dalam kasus Raju, tidak dapat serta-merta ditafsirkan demikian.

    Andaikan (sekali lagi, andaikan) Raju tetap harus didiagnosis dengan parameter ilmiah, penetapan status psikologis ini pun problematik. Pasalnya, menurut Achenbach (1980), Bemporad, dan Schwab (1986), kriteria patologis yang diberikan kepada individu dewasa tidak dapat serta-merta diterapkan pada anak-anak.

    Kriteria diagnosis khusus anak dalam Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders III R (DSM-III-R) masih mengundang perdebatan. Trad (1990) menggarisbawahi, anak-anak harus diperiksa dengan tekanan kebutuhan untuk kembali ke proses perkembangan normal.

    Karena itu, proses peradilan Raju yang bertujuan penghukuman tidak seharusnya dilakukan. Alih-alih punitive justice, justru therapeutic justice yang menjadi filosofi kerja aparat hukum, termasuk peradilan.

    ”Jurigenic effect”

    Amat sulit mencari literatur psikologi forensik yang membahas efek tindakan tidak proporsional aparat peradilan, apalagi hakim, terhadap anak-anak yang menjalani sidang. Mayoritas penelitian terfokus pada akibat yang dialami anak-anak korban kejahatan saat harus hadir di ruang sidang bersama pelaku kejahatan.

    Perlakuan tidak semestinya aparat peradilan terhadap anak-anak, sebagai pelaku maupun korban, dapat berpengaruh buruk terhadap kondisi psikologis dan sosial anak. Setting ruang peradilan, penampilan aparat, dan gaya berkomunikasi aparat yang interogatif-intimidatif akan melahirkan tekanan.

    Dapat diduga, individu yang dilanda ketegangan dan kecemasan di luar ambang toleransi tidak akan mampu memberi informasi akurat dan lengkap. Inilah yang disebut Town (1997) jurigenic effect. Istilah jurigenic effect diadopsi dari iatrogenic effect, yakni efek kontrapoduktif yang diderita individu akibat perlakuan tidak proporsional yang dilakukan pihak yang sebetulnya bertanggung jawab membantu individu itu. Jelas, keputusan hukum yang diambil dari orang yang terkena jurigenic effect akan rentan terhadap distorsi.

    Jika hal seperti itu yang terjadi pada Raju, dan jika benar Armansyah yang lebih dulu membuka konfrontasi, maka sempurnalah pengalaman buruk anak bungsu Sugianto dan Saedah itu. Ia mengalami secondary victimization, dan pelakunya adalah aparat peradilan sendiri.

    ”Therapeutic justice”

    Berbeda dengan peradilan konvensional, mengingat yang dilakukan pendekatan hukum atas anak-anak, sepatutnya bertujuan therapeutic. Maka, otoritas legal yang terlibat harus mengedepankan kesantunan (civility), menjaga harga diri anak dan keluarga (dignity), dan senantiasa memelihara kesabaran (patience). Oleh Town (1997), ketiga unsur itu disebut intisari peradilan anak. Kehadiran psikolog dan profesional lain sebagai amicus curiae (sahabat peradilan) merupakan kemutlakan bagi pelaksanaan therapeutic justice.

    Muara peradilan seperti itu bersifat therapeutic. Dalam praktik di Indonesia, mengirim individu pradewasa ke penjara khusus anak-anak atau remaja masih dijadikan sebagai salah satu opsi. Padahal, Leve dan Chamberlain (2005) mencatat, karena pengaruh teman sebaya sering lebih dominan daripada figur dewasa, bentuk-bentuk peer aggregation justru meningkatkan perilaku antisosial individu.

    Alternatif lebih andal adalah multidimensional treatment care (MTC) yang berbasis pendekatan individu per individu. Syaratnya, jika anak benar-benar memiliki kenakalan serius dan kronis (Chamberlain, 2003). Inti MTC adalah memodifikasi psikologi dan perilaku anak dengan menitipkan ke lingkungan keluarga angkat yang lebih kondusif sehingga anak dapat memeragakan keterampilan psikologi dan perilaku lebih adaptif saat berhadapan dengan situasi yang berasosiasi dengan kenakalannya.

    MTC memang ideal. Dalam kasus Raju, yang paling mendesak adalah membebaskannya dari berbagai perlakuan tak senonoh aparat hukum di Medan. Terhadap aparat penegak hukum yang telah menunjukkan tindak-tanduk menyimpang jauh dari kaidah profesionalitas dan etika hanya dihadapkan pada dua opsi. Pertama, menjalani edukasi ulang. Atau, kedua, dikeluarkan dari korpsnya.

    Reza Indragiri Amriel
    Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne

    BalasHapus
  3. Anonim2:56 AM

    KORAN TEMPO

    MASALAH RAJU, MASALAH SEMUA
    Oleh Reza Indragiri Amriel
    Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

    Kasus Muhammad Azwar (Raju) yang telah menerima perlakuan tidak proporsional saat dan setelah menjalani proses peradilan di Pengadilan Negeri Langkat, Sumatera Utara, terus berlanjut. Berita di berbagai media massa mengangkat tindakan tak semenggah yang dilakukan hakim, sebagai fokus utamanya. Tersisih dari perhatian khalayak adalah penyebab terjadinya perkelahian antara Raju dengan Armansyah, yang menjadi awal kontroversi “jurigenic effect” itu.
    Dalam sejumlah liputan media, ramai disebut bahwa perkelahian kedua siswa sekolah dasar itu didahului oleh ejekan yang diarahkan Armansyah kepada Raju. Raju tidak terima, sehingga pecahlah perkelahian.
    Bagi khalayak, lempar cemooh dan perkelahian kiranya dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang dijalani oleh siapapun, setidaknya pada masa kanak-kanak. Karena lazim, maka saling ejek dan berkelahi dipandang wajar belaka. Itu sebabnya, ‘keseriusan’ yang dilakukan hakim Tiurmaida H Pardede dalam mengadili kasus perkelahian Raju dan Armansyah dinilai kebablasan.
    Apapun dalih Tiurmaida, perlakuannya atas Raju tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari itu, persepsi umum terhadap kebiasaan mencemooh dan berkelahi seyogianya diluruskan. Kedua perilaku tersebut tidak lagi pantas dipandang remeh, karena di balik itu semua terdapat dinamika penting yang perlu menjadi perhatian semua pihak.
    Pada banyak negara, kebiasaan mengejek dan berkelahi di lingkungan sekolah (school bullying, school fight) sudah disikapi secara serius. Sangsi berat atas kedua tingkah laku itu diatur tertulis, sama beratnya dengan plagiarisme. Aturan tegas seperti ini dilandaskan pada filosofi sekolah sebagai sentra penanaman akal budi, elemen penting bagi majunya peradaban. Segala tindak-tanduk yang jauh dari nilai-nilai keberadaban, dengan demikian, merupakan bentuk kontra yang harus ditiadakan dari sekolah.
    Temuan empiris memberi dasar bagi pentingnya peraturan yang melarang perilaku mengejek. Noll dan Carter (1998), misalnya, mencatat bahwa satu dari empat pelajar menjadi target ejekan, termasuk yang dilakukan oleh pelajar yang lebih senior (seperti dalam kasus Raju). Delapan puluh persen aksi saling ledek berakhir dengan konfrontasi fisik.
    Curtis Taylor, siswa kelas delapan yang menjadi korban bullying selama tiga tahun di sekolahnya di wilayah Iowa, akhirnya mengakhiri hidupnya pada 21 Maret 1993. Peristiwa ini diabadikan lewat istilah bullycide, yakni bunuh diri (suicide) yang diakibatkan oleh bullying.
    Tingkah laku agresif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, yang didemonstrasikan oleh pelajar yang menjadi target cemooh terus bertambah. Di Amerika Serikat, aksi pengrusakan sekolah bahkan penembakan yang memakan korban jiwa juga telah menjadi fenomena buruk di lingkungan yang semestinya menjadi ladang bersemainya anak-anak cerdas dan beretika. Banyak pelaku yang mengaku bahwa tindak kekerasan yang mereka lakukan dilatarbelakangi oleh frustrasi dan kebencian yang mereka alami setelah menjadi objek cemoohan dan ragam kesemena-menaan lainnya yang dilakukan teman-temannya. Perlakuan buruk yang diberikan guru dan manajemen sekolah juga disebut sebagai faktor-faktor munculnya aksi kekerasan sejenis.
    Laporan tahunan yang dikeluarkan Public Schools of North California juga setali tiga uang. Tercatat, jenis kejahatan dan aksi kekerasan yang banyak terjadi di sekolah-sekolah di Kalifornia Utara pada tahun 2005 hingga awal 2006 adalah serangan yang berakibat cedera serius, serangan bersenjata, serangan atas personil sekolah, ancaman bom, dan pembakaran bangunan sekolah.

    Penanganan Berjenjang
    Karena saling cemooh dan berkelahi pada usia kanak-kanak banyak terjadi di sekolah, maka sekolah adalah pengemban tanggung jawab pertama untuk berupaya langsung menyelesaikan kasus-kasus seperti ini. Sekolah perlu menetapkan aturan secara lebih definitif tentang bentuk-bentuk perilaku yang tidak diperkenankan. Termasuk di dalam aturan itu adalah mengejek dan berkelahi.
    Seluruh personil sekolah juga berkewajiban memantau secara melekat tingkah laku anak didik mereka. Para siswa yang memiliki ‘inferioritas’ (fisik, psikis, sosial, dan ekonomi) perlu mendapat ‘perlindungan’ ekstra, karena bullying paling sering dilakukan oleh siswa yang kuat terhadap siswa yang lemah tersebut.
    Di sinilah permasalahannya. Tidak sedikit sekolah yang enggan turut campur ke dalam masalah-masalah yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas belajar mengajar. Inilah yang menjadi penyebab banyaknya tuntutan hukum yang dilayangkan oleh orang tua kepada sekolah. Isi tuntutan, pertama, karena sekolah dinilai tidak memberikan perlakuan khusus yang memadai kepada para pelajar yang potensial menjadi korban bullying. Kedua, karena sekolah tidak memutus mata rantai frustrasi-agresi, sehingga terpupuk benih balas dendam pada diri para korban bullying itu.
    Hanya apabila penanganan di tingkat sekolah tidak berbuah positif, penyelesaian masalah dapat ditingkatkan ke tahap legal. Itu pun tidak berbentuk keadilan retributif (retributive justice) seperti yang dilakukan hakim Tiurmaida. Juga tidak sebatas keadilan rehabilitatif (rehabilitative justice) yang diwujudkan ke dalam pemberian terapi terhadap para korban.
    Karena kehidupan anak idealnya juga merupakan bagian penting kehidupan para orang tua, maka permasalahan anak seyogianya juga menjadi kepedulian orang tua. Atas dasar itu, manakala cekcok yang dialami anak juga berimbas pada relasi antar orang tua, sudah sepatutnya apabila mekanisme keadilan atas kasus si anak (juvenile justice) juga dilakukan secara menyeluruh. Keadilan restoratif (restorative justice) menjadi kata kunci.
    Keadilan model ini memiliki tujuan rekonsiliasi, yakni mengembalikan keharmonisan antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus. Bukan perkara penghukuman dan penyembuhan belaka. Group conferencing, baik yang dilakukan semata-mata oleh para anak maupun yang mengikutsertakan orang tua mereka, adalah salah satu perwujudan keadilan restoratif.
    Melalui mekanisme keadilan restoratif, tidak ada implikasi hukum apapun terhadap pihak-pihak yang terlibat. Alih-alih, proses yang berlangsung ditujukan untuk membebaskan anak korban olok-olok dari segala tekanan batin dan luka fisik yang mereka derita selama ini. Tahap selanjutnya adalah membekali pelaku dan korban bullying dengan keterampilan emosional dan sosial yang lebih baik sesuai kebutuhan mereka masing-masing.
    Wallaahu a’lam.

    r_amriel@yahoo.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy