Langsung ke konten utama
loading...

Pertanyaan dipagi hari

Pagi ini saya mendapat pertanyaan by email maupun melalui shoutbox seperti ini :


mau bertanya...
di blog anda menjelaskan tentang kompetensi yang termasuk ke dalam syarat formil gugata....

yang mau saya tanyakan...jika memang kompetensi merupakan syarat formil dari suatu gugatan, kenapa dalam praktek masih banyak pengadilan yang melanggarnya???terus apa akibat hukumnya kalo pengadilan tidak memperdulikan masalah kompetensi ini...????

sebut saja sebagai contohnya ialah arbitrase....
dalam pasal 3 UU Arbitrase dituliskan secara eksplisit kompetensi absolut arbitrase...
selain itu sudah "bejubel" yurisprudensi mengenai kewenangan absolut arbitrase...
namun tetap saja dalam prakteknya PN masih menerima perkara meskipun sudah terdapat perjanjian arbitrasenya...

sebenernya skripsi aku membahas tentang ini...hehehehhe...judul skripsiku "TINJAUAN YURIDIK TERHADAP KEWENANGAN ABSOLUT ARBITRASE BERDASARKAN PASAL 3 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA"...

mohon bantuannya apabila punya bahan2 yang terkait dengan skripsi ku di atas....
makasih banyak atas perhatiannya...maaf sudah mengganggu...

Zara Nuri Wulandia
UNPAR"
Bangga juga dapat pertanyaan kritis dari adik mahasiswi (liat photonya di Fs sih kyknya ... cakep :D ).
Dari pertanyaan tersebut saya sudah menjawabnya sebagai berikut :

"Terima kasih telah menghubungi saya ....

Wah .... anda telah membuat pertanyaan yang sangat sulit untuk saya jawab, apalagi saya cuma seorang praktisi bukan akademis yang mungkin akan lebih cocok untuk menjawab pertanyaan anda tersebut.

Pertanyaan anda adalah pertanyaan diluar praktek yang selazimnya dan ini sama seperti pertanyaan mengapa Jaksa bisa melakukan PK padahal menurut KUHAP, PK hanyalah hak yang diberikan Undang-Undang kepada terdakwa maupun kepada ahli warisnya ?. Mengapa amrozi cs bisa mengajukan memori PK lebih dari satu kali, padahal undang-undang hanya mengatur 1 X ? dll dst ..... ya begitulah hukum di republik ini banyak penyimpangan dan penuh ke-BIJAK-sana-ANNNNNNNNN.

Mungkin, kiranya pertanyaan anda tersebut bisa saya jawab sedikit (walaupun ini jawaban yang dipaksakan dan mungkin sekedar hipotesa) bahwa mengapa pengadilan kerap melanggar kompetensi absolut dari arbitrase adalah karena dalam kesepakatan antara pihak yang bersengketa tersebut TIDAK SECARA JELAS DAN TEGAS menyebutkan kalimat "bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa". Tanpa menyebutkan kalimat sebagaimana di atas maka sudah sepantasnya Majelis hakim melakukan pemeriksaan terhadap perkara yang diajukan.

Jika dalam pemeriksaannya ternyata benar memang ada diatur dalam kesepakatan secara tegas-tegas tentang penyelesaian dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya dalam putusannya Majelis menolak perkara tersebut. Namun bila dalam putusan menerima daan mengabulkan permohonan pemohon maka jelas dan terang Putusan tersebut patut dibatalkan. Untuk itu pihak yang dirugikan dapat mengajukan upaya hukum banding atas putusan tersebut.


Singkatnya dari uraian di atas, bahwasanya dalam sesuai dengan prinsip peradilan umum, Pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara. Pengadilan wajib melakukan pemeriksaan, mengadili dan memutuskan perkara. Jika dalam pemeriksaan jelas terbukti benar bahwasanya perkara yang diajukan menyangkut kewenangan kompetensi absolut maka melalui putusan sela hakim harus menolaknya.

Paham khan ? "

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy