Langsung ke konten utama
loading...

Sifat dan kekuatan putusan Hakim

Jalannya suatu proses peradilan akan berakhir dengan adanya suatu putusan Hakim. Dalam hal ini, Hakim terlebih dahulu menetapkan fakta-fakta (kejadian-kejadian) yang dianggapnya benar dan berdasarkan kebenaran yang didapatkan ini kemudian Hakim baru dapat menerapkan hukum yang berlaku antara kedua belah pihak yang berselisih (berperkara), yaitu menetapkan “hubungan hukum”.

Menurut sifatnya, putusan Hakim ini dibedakan dalam 3 (tiga) macam yaitu:

1) Putusan Declaratoir

Putusan ini merupakan putusan yang bersifat menerangkan. Menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.

2) Putusan Constitutive

Putusan ini merupakan putusan yang meniadakan atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.

3)Putusan Condemnatoir

Putusan ini merupakan putusan yang menetapkan bagaimana hubungan suatu keadaan hukum disertai dengan penetapan penghukuman kepada salah satu pihak.

Suatu putusan harus ditandatangani oleh Ketua Sidang dan Panitera yang telah mempersiapakan perkaranya. Apabila ketua tersebut berhalangan menandatanganinya maka putusan itu ditandatangani sendiri oleh Hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutuskan perkaranya (pasal 187 ayat 1 HIR), sedangkan apabila paniteranya yang berhalangan, hal itu harus dicatat saja dalam berita acara (pasal 187 ayat 1 HIR).

Suatu putusan Hakim mempunyai tiga macam kekuatan.

Pertama adalah kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum terhadap pihak yang tidak menaatinya secara sukarela. Kekuatan ini dinamakan eksekutorial.

Kedua harus diperhatikan bahwa putusan Hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akta otentik menurut pengertian Undang-Undang, sehingga ia tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang berperkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”, artinya terhadap pihak ketiga dalam hal membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan pula disitu dan dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut.

Kekuatan ketiga yang melekat pada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah kekuatan untuk “menangkis” suatu gugatan baru mengenai hal yang sama yaitu berdasarkan asas “neb is in idem” yang berarti bahwa tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam peerkara yang sama. Agar supaya “tangkisan” atau “eksepsi” tersebut berhasil dan diterima oleh Hakim adalah perlu bahwa perkara yang baru itu akan berjalan antara pihak-pihak yang sama dan mengenai hal yang sama pula dengan yang dahulu sudak diperiksa dan diputus oleh Hakim dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy