Langsung ke konten utama
loading...

Menggugat Sistem Hukum Dan Peradilan Indonesia.


Sebagai bekas jajahan negara yang memiliki sistem peradilan Continental, sistem hukum dan peradilan Indonesia pun hingga saat ini masih menganut sistem tersebut (system hukum Civil Law atau yang dikenal pula sistem Eropa Continental). Karakteristik utama System Civil Law adanya hukum tertulis sebagai sumber hukum. Idealnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah hukum maka keputusannya harus bersumber pada hukum tertulis dengan bermuara pada hakim sebagai pengambil putusan. Oleh karena keputusan ada ditangan hakim maka tidak salah bila hakim dianggap sebagai wakil Tuhan.

Namun demikian, sayangnya, sebagai wakil Tuhan, hakim tidak lepas dari sifatnya sebagai manusia yang penuh dengan kelemahan. Dalam praktek. Hakim sebagai penegak hukum dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan, sering menghadapi kenyataan bahwa ternyata hukum tertulis (Undang-undang) tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Karena sesuai UU kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau hukumnya masih samar maka atas inisiatif sendiri hakim harus mampu menemukan hukumnya (rechtsvinding) dan atau menciptakan hukum (rechtsschepping) untuk melengkapi hukum yang sudah ada. Dalam hal ia mampu melakukan keduanya (rechtsvinding dan rechtsschepping) tentu ia layak menyandang predikat sebagai Wakil Tuhan. Namun demikian, adakalanya hakim bisa mengabaikan, melalaikan bahkan melanggar hukum itu sendiri hanya karena nuraninya tidak tersentuh.

Kembali pada sistem hukum Indonesia, entah sejalan dengan perkembangan jaman atau sejalan dengan kepentingan penguasa, penerapan sistem hukum Civil Law/ Eropa Continental tidaklah berjalan mulus. Banyak praktek bahwa dalam pelaksanaan hukum dipengaruhi oleh kekuasaan, jabatan dan kekuatan politik penguasa. Lihat saja kasus Bibit-Chadra yang terputus ditengah jalan karena karena “nurani Presiden tersentuh”. Meskipun banyak polemik terkait kasus “cicak vs buaya” sudah seharusnya jika negara ini masih mengaku sebagai negara hukum, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif mampu menahan diri untuk melakukan intervensi dalam perseteruan tersebut karena apapun alasannya jelas kasus tersebut adalah kasus hukum yang notabene merupakan ranah kekuasaan yudikatif.

Jika sistem hukum dan peradilan Indonesia sudah dipengaruhi oleh “hati nurani” kenapa tidak sekalian saja sistem hukum dan peradilan negeri ini dirubah menjadi sistem hukum anglo saxon yang dari banyak pendapat pakar mengatakan lebih mudah penerapannya terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam sistem peradilan Anglo Saxon, kepastian hukum yang bersifat material lebih karena menggunakan sistem Juri. Juri yang dimaksud disini adalah sebuah dewan untuk menilai atau menghakimi sesuatu atau seseorang. Dengan sistem juri, “hati nurani” masyarakat juga dapat mempengaruhi suatu perkara karena diseleksi dan diangkat dari masyarakat yang bertingkat pendidikan tertentu. Menurut sistem ini dalam suatu persidangan perkara pidana para Juri-lah yang menentukan apakah terdakwa atau tertuduh itu bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty) setelah pemeriksaan selesai. Jika Juri menentukan bersalah barulah Hakim (biasanya tunggal) berperan menentukan berat ringannya pidana atau jenis pidananya. Bila Juri menentukan tidak bersalah maka Hakim membebaskan terdakwa (tertuduh).

Dengan merubah sistem hukum dan peradilan Indonesia dari hukum Civil Law/ Eropa Continental menjadi sistem peradilan Anglo Saxon tentunya polemik kericuhan penegakan hukum Indonesia dapat diakhiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy