Langsung ke konten utama
loading...

Instruksi Presiden dan Peraturan Presiden Dalam Hierarkhi Perundangan-Undangan


Menurut Pasal 3 ayat (6) Ketetapan MPR No. III/ MPR/ 2000, Keputusan presiden adalah keputusan yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan. Anehnya Keputusan Presiden dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang no. 10 tahun 2004, Keputusan Presiden tidak dikenal sebagai sumber hukum yang ada ialah Peraturan Presiden. Lucunya dalam praktek ketatanegaraan dikenal pula bentuk Instruksi Presiden .... apa pula ini ? Banyak kali produk hukum lembaga kepresidenan yach ...

Untuk menjawab dan coba menjelaskan produk-produk hukum lembaga kePresidenan mungkin harus dipahami hal-hal sebagai berikut :


Secara umum kewenangan Presiden berdasarkan UUD 1945 terbagi atas beberapa kewenangan seperti :

a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar.
b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau kewenangan untuk mengatur kepentingan umum atau publik.
c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi masa hukuman, pengampunan ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait dengan kewenangan pengadilan.
d. Kewenangan bersifat diplomatik yaitu kewenangan dalam menjalin hubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional yang lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang atau damai.
e. Kewenangan bersifat administratif.

Dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Selain itu, UUD 1945 juga menyatakan bahwa Presiden juga memegang kedudukan seperti Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia seperti yang diatur dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”.

Kewenangan-kewenangan yang ditetapkan dalam Pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan Pasal 15 UUD 1945 biasanya dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Pasal 11 mengatur mengenai kewenangan Presiden untuk menyatakan perang dan damai serta kewenangan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 berkenaan dengan kewenangan menyatakan keadaan bahaya, Pasal 13 berkenaan dengan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul. Pasal 14 mengenai pemberian grasi dan rehabilitasi, serta pemberian amnesti dan abolisi dan Pasal 15 mengenai pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya. Sesuai hasil Perubahan Pertama UUD 1945, pelaksanaan kewenangan Presiden tersebut di atas secara berturut dipersyaratkan diperhatikannya pertimbangan DPR, pertimbangan MA, ataupun diharuskan adanya persetujuan DPR, dan bahkan diharuskan adanya UU terlebih dahulu yang mengatur hal itu. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 memerlukan persetujuan DPR. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 15 mempersyaratkan adanya UU mengenai hal itu lebih dahulu. Pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 13 memerlukan pertimbangan DPR yang harus diperhatikan oleh Presiden. Sedangkan pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 14 dibagi dua, yaitu untuk pemberian grasi dan rehabilitasi diperlukan pertimbangan MA, sedangkan pemberian amnesti dan abolisi diperlukan pertimbangan DPR.

Menurut Pasal 3 ayat (6) Ketetapan MPR No. III/ MPR/ 2000, Keputusan presiden adalah keputusan yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.

Sekilas tentang pengertian fungsi dan tugas Presiden dalam administrasi negara dan administrasi pemerintahan adalah sebagai berikut :

a. Dalam administrasi negara, maka fungsi dan tugas Presiden adalah memberikan pelayanan (service) yang baik kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Untuk itu agar penyelenggaraan administrasi negara ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa maka dituntut partisipasi masyarakat (social participation), dukungan dari masyarakat kepada Presiden sebagai pimpinan tertinggi administrasi negara (social support), pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja Presiden (social control), serta harus ada pertanggung jawaban dari kegiatan Presiden kepada masyarakat (social responsibility).

b. Sebagai pelaksana administrasi pemerintahan maka fungsi dan tugas Presiden adalah sebagai pelaksana tata laksana dalam mengambil tindakan hukum dan tindakan materil untuk melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik ketatanegaraan, Keputusan Presiden memiliki bentuk-bentuk yang berbeda satu sama lain yang bersumber dari kewenangan-kewenangan yang diberikan. Misal, Keputusan Presiden yang berasal dari kewenangan yang bersifat eksekutif atau kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar maka dalam pratiknya disebut Peraturan Presiden. Hal ini sebagaimana dimaksud UU No. 10 Tahun 2004 yang pada pokoknya menyatakan Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden yang berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Contoh lain, Keputusan Presiden yang berasal dari kewenangan yang bersifat legislatif atau kewenangan untuk mengatur kepentingan umum atau publik dalam praktiknya disebut Instruksi Presiden. Hal ini dapat dilihat dari Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi dan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang keseluruhan isi materinya lebih bersifat mengatur pelayanan kepentingan umum atau publik.


Mungkin itu kali yach jawabannya ... ada yang punya argumen yang lain ?

Komentar

  1. Anonim9:20 PM

    Bung Wahyu,

    Terlepas, baik Keppres dan Inpres bukan merupakan sumber hukum sebagaimana yang diatur didalam UU No. 10 Tahun 2004, namun didalam praktek, baik Keppres (Pasal 2 ayat 6 TAP MPR No. III/MPR/2000 merupakan salah satu pedoman pembuatan aturan hukum dibawahnya), maupun Inpres sering dijadikan sumber hukum (reffrensi) oleh pejabat-pejabat negara dibawah Lembaga Kepresidenan didalam membuat peraturan-peraturan pelaksanaannya.

    Pada kondisi pemerintah kita yang saat ini ("nyaris") berbentuk "semi parlementer", dimana kekuatan parlemen melebihi kekuatan pemerintah, sebagai contoh bahwa berdasarkan Pasal 10 UUD 1945 Presiden juga memegang kedudukan sebagai Pangti TNI, namun pada Pasal 13 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, bahwa Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari DPR. Artinya bahwa Presiden jika ingin mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR. Dengan demikian kekuatan kedudukan Presiden sebagai Pangti TNI hanya pada posisi operasionalnya TNI saja, tapi tidak pada posisi mengangkat dan meberhentikan Panglima TNI.

    Pada kondisi seperti yang demikian sebagaimana antara lain contoh kasus diatas, maka Keppres dan Inpres ini sangat dibutuhkan oleh Lembaga Kepresidenan dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mengatur pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan. Karena untuk membuat Keppres dan Inpres tidak perlu minta persetujuan DPR he he he ...

    Selamat berdiskusi ...

    Salam,
    "MN"
    http://blog.mnr-advokat.web.id

    BalasHapus
  2. Anonim9:35 PM

    itu sama juga dengan SEMA ...
    tdk mengikat masyarakat tetapi membatasi kebebasan hakim dalam mengambil keputusan.

    tetapi dampaknya yaaa ... masyarakat juga :-)

    BTW,
    mengapa mereka gak bikin jurisprudensi aja, ya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy