Langsung ke konten utama
loading...

Undang-Undang Banci .....

ADVOKAT ... Oh My God !!!


Seandainya ada gelar "Banci" dalam suatu peraturan mungkin yang layak diberikan gelar tersebut adalah undang-undang yang mengatur tentang Advokat, yakni Undang-Undang No. 18 Tahun 2003.
Dikatakan banci karena materi undang-undang tersebut paling banyak diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Beberapa materi yang sering dipermasalahkan adalah mengenai :


1. Pelimpahan wewenang kepada delapan organisasi advokat untuk menjalankan tugas
dan wewenang organisasi advokat,


2. Keabsahan organisasi PERADI,


3. Persamaan kedudukan, kewenangan profesi advokat dengan konsultan hukum,


4. Menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat,
tetapi bukan Advokat.


Dari permasalahan yang menyedihkan adalah tentang dibatalkannya Pasal 31 Undang-Undang NOMOR 18 TAHUN 2003 oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 006/PUU-II/2004. Sedih karena saat diajukan uji materi tentan hal tersebut, PERADI sebagai ujung tombak profesi Advokat tidak bertindak apa pun. Ironis, padahal dengan berlakunya Pasal 31 UU Advokat dapat menjadi senjata ampuh menghapus praktek-praktek pokrol bambu yang dilakukan oknum masyarakat.


Kembali pada permasalahan mengenai "Kebancian" dari Undang-Undang Advokat yang memang banyak diakui pakar hukum menuntut tanggung jawab PERADI untuk melakukan legislative review yang sudah saatnya dilakukan segera mungkin. Selain itu, sudah seharusnya pula PERADI memperkuat organisasinya sebagai wadah tunggal Advokat baik dengan cara konsolidasi internal maupun eksternal. Saya sebagai advokat tentu merasa iri dengan wadah tunggal profesi seperti Akuntan, Dokter dan Notaris. Dengan wadah tunggal tentu dapat menjembati masyarakat dengan advokat secara terpadu, jelas dan terang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy