Langsung ke konten utama
loading...

Keprihatinanku untukmu KPU

Meski Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, sesungguhnya masyarakat Indonesia tidaklah terlalu bodoh atau miskin ilmu. Hal ini tercermin antara lain dari kemampuan para ahli maupun masyarakat awam dalam membaca gelagat alam seperti gempa, tsunami, dan tanah longsor. Masalah hasil penelitian dan pendapat mereka diperhatikan atau diabaikan begitu saja, adalah hal lain lagi.

Ketika terjadi longsor besar di kabupaten Garut beberapa tahun silam, pada umumnya masyarakat di sekitar lokasi maupun para wisatawan yang pernah mengunjungi Garut dan sekitarnya tidaklah terlalu kaget. Pasalnya, daerah itu secara alamiah memang harus mengalami longsor karena hutan yang ada dilereng bukit telah dihabisi sekelompok masyarakat dan tanah gemburnya diubah menjadi lahan pertanian, antara lain untuk tanaman kentang. Hutan pinus yang dulu rimbun nyaris musnah. Kalaupun ada pinus yang tersisa, hanyalah karena masih dibutuhkan untuk menyangga saung tempat berteduh para penggarap lahan lereng tersebut. Singkat kata bencana tanah longsor pasti datang, hanya masalah waktu.

Karena itu saya justru terperanjat menyaksikan reaksi sebagian besar masyarakat Indonesia yang begitu sulit percaya ketika mengetahui seorang dosen kriminologi Universitas Indonesia (UI) Mulyana Wira Kusumah (MWK), yang juga aktivis dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), tertangkap tangan ketika diduga hendak menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada awal April lalu. Begitu pula ketika mengetahui Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin (NS) harus masuk bui setelah berpamitan di kantornya pada Jum'at (20/5/05) siang sebagaimana diulas panjang lebar oleh Tempo (23-29/5/05).

Sebagaimana halnya bencana tanah longsor di Garut, maka terjerembabnya para dosen, peneliti atau aktivis sekaliber MWK dan NS oleh berbagai dugaan kasus korupsi di KPU hanyalah persoalan waktu saja. Mengapa demikian? Ada tiga alasan utama.

Pertama, besarnya ruang lingkup pekerjaan KPU yang harus melayani aktivitas Pemilu hingga ke tingkat desa berbanding lurus dengan besarnya biaya yang harus dikelola. Tantangan pengelolaan keuangan yang meliputi masalah perencanaan, penganggaran, pelaksanaan hingga pengendalian program menjadi semakin besar manakala waktu yang tersedia sedemikian sempitnya. Keterbatasan waktu pelaksanaan dan besarnya jumlah dana yang harus dikelola ini kemudian berkomplikasi dengan ketatnya tata cara lelang barang dan jasa pemerintah seperti diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) 80/2003 yang ketika itu baru terbit menggantikan Keppres 18/2000. Di sisi lain, kewenangan yang diberikan UU Pemilu No 12/2003 kepada KPU sangatlah luas. Kesemuanya itu jelas mengundang berbagai potensi penyimpangan dari berbagai pihak. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelola proyek biasanya memang harus "berakrobat" jika ingin proyeknya suskses.

Kedua, rangkap jabatan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Apalagi untuk jenis pekerjaan yang sangat menuntut jam terbang dan berskala besar seperti di KPU. Sebagaimana pernah saya uraikan dalam artikel berjudul "Rangkap Jabatan: Benarkah Sebuah Dilema?" di Portal Alumni ITB pada bulan September 2003 yang lalu, para anggota KPU bukanlah "superman" yang bisa bolak balik dengan kecepatan cahaya dari Depok, Surabaya, Bandung, Makasar, dan Papua ke kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta (http://www.geocities.com/satriyaeddy/JABATAN_RANGKAP_x_final_ai_itb_complete.pdf ).
Sekedar menyegarkan ingatan kita, dari sebelas orang anggota KPU yang diangkat, hanya Anas Urbaningrum saja yang bukan berprofesi dosen. Ketika UU Pemilu diterbitkan, yang antara lain melarang jabatan rangkap dan menuntut kerja penuh waktu (pasal 18), maka hanya Imam Prasojo dan Muji Sutrisno yang memilih mundur dari KPU. Sedangkan anggota KPU lainnya dengan alasan masing-masing tetap ?nekat? menantang bahaya. Ketiga, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN masih berjalan lambat dan lebih sering tertinggal dibandingkan dengan berbagai varian KKN yang semakin canggih. Sementara itu tuntutan pemberantasan KKN dalam program Kabinet Indonesia Bersatu semakin mengemuka. Karena itu tidaklah mengejutkan jika tuntutan tersebut kemudian berujung kepada institusi KPU yang sejak pelaksanaan Pemilu tak henti-hentinya menjadi sorotan publik.

Sebut saja ribut-ribut pengadaan mobil dinas pada Januari 2004 justru terjadi manakala masyarakat sedang menunggu kinerja KPU. Rasa percaya diri berlebihan yang menjurus arogan memang sering diperlihatkan pejabat KPU dalam menangani berbagai permasalahan. Masyarakat tentu sulit melupakan begitu saja beberapa kasus yang melibatkan nama-nama seperti Presiden Gusdur yang sampai menuntut KPU ke pengadilan. Atau sebut pula "perang urat syaraf" antara anggota KPU Chusnul Mar?yah dengan pengamat telematika Roy Suryo dari Yogya. Akademisi UI Effendi Gozali pernah pula melukiskan situasi tersebut dalam artikel berjudul KPU Can Do No Wrong? (Kompas, 7/7/04). Tidak terhitung pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik di pusat maupun di daerah yang telah melaporkan berbagai dugaan penyimpangan kepada KPK.Singkat kata, pencidukan MWK dan NS oleh aparat KPK sesungguhnya bukanlah hal yang sangat luar biasa.

***

Menjadi pertanyaan kemudian, sampai kapankah masyarakat terus dibiarkan untuk membiarkan kaum intelektual atau dosen itu melanjutkan multi peran di birokrasi? Tidak adakah usaha-usaha untuk menguranginya? Sementara di sisi lain, TNI (dulu ABRI) sudah mulai mereposisi diri dan menjauhkan diri dari dwifungsi.
Jelas semua hikmah yang ada harus dipetik untuk dipelajari. Bukan semata-mata dari sisi pemberantasan korupsi, dugaan penyelewengan ataupun jebakan oleh tim KPK, tetapi juga dari sisi mulianya fungsi, peran dan tugas profesi dosen yang sangat ditunggu rakyat untuk memperbaiki citra pendidikan yang terus terpuruk di Indonesia.Jabatan rangkap dan tantangan besar yang harus dihadapi seorang dosen dalam birokrasi pernah pula penulis ulas dalam artikel berjudul "Dosen, Peneliti, dan Birokrat (Sinar Harapan/11/01/03).
Pada intinya, mengurus keproyekan adalah salah satu tantangan yang cukup berat bagi perangkap jabatan di birokrasi. Sebagai contoh adalah pembahasan proyek di Departemen Keuangan. Terkadang pekerjaan ini bisa dikategorikan sebagai intellectually harassing activities. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus atau lembaga penelitian harus berhadapan dengan permainan "mark up", "kongkalingkong", nepotisme dan seterusnya.Transisi demi transisi memang membutuhkan penanganan yang cepat. Namun menyerahkan berbagai urusan kepada komisi-komisi yang didominasi intelektual, dosen atau peneliti yang belum mempunyai jam terbang di birokrasi juga bisa menjadi bumerang.
Dalam masalah KPU ini, maka terbukti rasa percaya diri yang tinggi dan bekal ilmu pengetahuan yang di atas rata-rata akhirnya membawa sang dosen kepada kondisi yang sangat sulit dikontrol pihak luar. Ironisnya lagi, praktek rangkap jabatan di birokrasi ini malah makin meningkat di era reformasi. Padahal, jutaan dollar hasil pinjaman atau utang luar negeri telah dihabiskan untuk menyekolahkan ribuan PNS untuk meraih gelar Doktor maupun Master di dalam maupun di luar negeri. Kelihatannya gejala ini makin menggila tatkala muncul ?lampu hijau? dari Kantor Meneg PAN yang akan membolehkan Presiden atau Menteri untuk mengangkat staf khusus.
Laksana sebuah sinetron, kisah ?birokrasi keranjang sampah? di zaman Presiden Megawati sedang memasuki episode lanjutan yang lebih seru lagi. Kita memahami bahwa masih banyak kaum intelektual dan dosen yang tetap setia mengajar dan meneliti. Di sisi lain, kita memaklumi para Menteri adalah pejabat negara yang berhak mengangkat siapapun menjadi stafnya. Namun membayangkan seorang intelektual, peneliti, dan aktivis sekaliber MWK dan NS yang sudah menghabiskan puluhan tahun karirnya dan waktunya untuk masyarakat, lalu mendadak sontak harus meringkuk di sel sempit penjara bersama narapidana lain adalah sesuatu memang yang sangat memilukan.Bisakah semua ini diartikan sebagai sebuah lampu kuning untuk para intelektual dan dosen? Tentu bisa. Cuma masalahnya di Indonesia lampu kuning memiliki dua makna. Untuk berhati-hati lalu berhenti, atau malah siap-siap tancap gas ketika menunggu lampu hijau. Mau pilih yang mana?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy