Langsung ke konten utama
loading...

Ricuhnya Peradilan Kasus Anak

Pengadilan Negeri (PN) Stabat yang menyidangkan R, 8 tahun, tersangka kasus perkelahian yang digelar Rabu sore, (15/2) berakhir ricuh.
Puluhan massa yang terdiri dari keluarga tersangka berteriak histeris di halaman gedung Pengadilan karena kecewa kepada pihak PN yang memaksakan kehendak meneruskan persidangan bagi tersangka tanpa didampingi penasehat hukum atau orang tua.
Saling tarik dan saling dorong antara pihak pengadilan dan penasehat tersangka terjadi, karena masing-masing merebut tangan anak yang sedang diadili. Tim pensehat hukum berupaya menghentikan sidang yang dimulai sekira pukul 15.00 Wib tersebut karena beralasan, anak belum cukup umur untuk disidangkan, karena saat kasus terjadi, R belum berusia 8 tahun, sesuai dengan bukti berupa Kartu Keluarga (KK) milik keluarga tersangka dan berkas perkara tuntutan. Sementara, jaksa pada sidang tersebut, Afprianto Naibaho, SH tetap bersikeras sidang terhadap R dilanjutkan, karena umurnya sudah lebih delapan tahun sesuai bukti baru yang mereka dapatkan, yaitu raport tersangka.
Kericuhan itu berawal saat hakim tunggal sidang, Tiur Maeda br. Pardede, SH, MKn, mengusir salah seorang dari 3 penasehat hukum anak yang baru duduk dibangku SD kelas III itu, Jhonatan Panggabean, SH.
Hakim menilai, pengacara yang berdomisili di Medan tersebut menghina pengadilan, karena pada saat sidang berlangsung, Hand phone miliknya berdering.Beberapa saat setelah J. Panggabean,SH keluar dari sidang, 2 penasehat hukum R lainnya, melakukan walk out dari persidangan.
Saat kekisruhan terjadi pihak keluarga menangis dan menjerit tak kuasa menahan diri, ketika anak dari pasangan Sugianto dan Saedah itu, diadili sendirian sambil meronta-ronta dan tangan dicekal. Ketika situasi semakin memanas, baik hakim maupun jaksa tiba-tiba menghilang dari lokasi persidangan. Sementara sejumlah aparat berseragam polisi terus berjaga-jaga guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Persidangan Sesat Jhonatan Panggabean SH, Tim penasehat hukum terdakwa kasus perkelahian anak, antara R, yang saat kejadian berusia 7 tahun dan E, 14 tahun pada persidangan yang berlangsung Rabu, (15/2) merupakan upaya pemaksaan kehendak.
"Ini persidangan sesat dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) Peradilan Anak dan UU Perlindungan Anak," cetus ayah 2 putera tersebut didampingi 2 penasehat hukum R lainnya, Agam I. Sandan, SH dan Erlina, SH. Ditambahkan Jhonatan, mengenai pengusiran yang dilakukan hakim atas dirinya hanyalah bersifat sentimen, dan upaya mencari-cari alasan untuk melanjutkan sidang terhadap kliennya. Padahal, substansinya, bukan soal menghormati atau tidak menghormati persidangan, tetapi, anak tersebut menurut tim mereka masih belum bisa disidangkan, meskipun berbeda pendapat dengan pihak jaksa dan hakim.
"Kalau masih beda pendapat, kenapa mereka tetap melanjutkan persidangan. Bahkan, R sendirian dalam ruang sidang tanpa didampingi seorang dewasa, hanya ada hakim dan jaksa. Ini jelas pelecehan hukum," kata Jhonatan.
Erlina, SH juga menyesalkan sikap aparat keamanan yang tampak berjaga-jaga di sekitar Pengadilan yang mengetahui kekisruhan yang terjadi, justeru hanya berdiam diri."Saya tidak tahu apakah polisi di sini tidak paham hukum atau karena takut. Padahal, anak tidak pantas diadili, apalagi di tahan," ujar Erlina.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy