Langsung ke konten utama
loading...

MEMAHAMI KEKECEWAAN KLIEN TERHADAP ADVOKAT


Dalam menghadapi suatu perkara hukum, adakalanya orang menyerahkan pengurusan dan penyelesaiannya melalui jasa advokat sebagai orang yang paham tentang teknis, prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara tersebut. Dengan mempercayakan pengurusannya melalui jasa advokat, klien berharap penuh agar permasalahannya terselesaikan secara baik dan tentunya memuaskan bagi dirinya.

Sayangnya, pengharapan klien tersebut kepada advokat terkadang sangat besar bahkan terkadang terkesan “memaksa”, advokat harus dapat memenuhi keinginan si klien. Pemahaman “memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien” tidak terlepas dari idiom di masyarakat yang menyesatkan “advokat/ pengacara membela yang bayar”. Entah idiom tersebut hanyalah suatu guyonan atau sungguh-sungguh, masyarakat tampaknya belum paham tentang profesi Advokat.

Dalam menjalankan tugas profesinya membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya, Advokat tetap berpatokan pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 huruf (c) Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang. Kemenangan dalam suatu perkara hukum adalah suatu hal yang sulit untuk diraih oleh seorang Advokat, baik yang levelnya sudah Advokat senior sekalipun. Terlepas dari masalah suap menyuap yang masih banyak ditemukan dalam praktek berperkara di Pengadilan, kemenangan dalam suatu perkara tergantung pada alat-alat pembuktian yang ada dan dimiliki klien dalam perkara tersebut. Jika alat-alat pembuktian yang ada ternyata kurang kuat, otomatis, dari awal penanganan perkara, Advokat sudah dapat memprediksi kekalahan si klien dalam perkara tersebut. Ketika Advokat sesungguhnya telah dapat memprediksi kekalahan si klien dalam perkara maka mau tidak mau yang bisa dilakukan oleh si Advokat tersebut adalah berupaya memberikan bantuan dan pembelaan hukum dengan cara melakukan penafsiran hukum yakni menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama pembelaannya sekaligus mencarikan hukum yang tepat terhadap suatu perkara.

Penafsiran hukum dilakukan dalam beberapa hal seperti kapan dan bagaimana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang terkait dengan perkara klien telah ada dan telah jelas. Dalam hal ini, relatif masih mudah untuk dilakukan karena jika ketentuan hukum tersebut telah ada dan jelas maka tinggal menerapkan ketentuan tersebut dalam perkara terkait. Yang paling sulit dalam penafsiran hukum adalah ketika materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang terkait dengan perkara yang dihadapinya tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya. Dalam hal ini, upaya yang bisa ditempuh Advokat adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis yang mau tidak mau kembali lagi penalaran tersebut harus didukung alat-alat pembuktian yang dimiliki si klien.

Komentar

  1. Anonim9:13 PM

    yah soalnya juga ada idiom juga khan kalo advokat yang menang terus adalah advokat yg hebat sedang kalo pake advokat masih dihukum penjara juga namanya advokatnya bodoh.. nah idiom idiom tsb yg masih melekat di masyarakat kita. padahal advokat tidak bisa mengubah nasib clientnya yg memang benar benar bersalah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy