Langsung ke konten utama
loading...

Pecandu Narkoba, ketika tujuan hukum dipertanyakan


Ketika para Pengguna Narkoba berhadapan dengan Hukum, mau tidak mau, mereka harus menerima perlakuan yang sama dengan mereka yang berlaku sebagai pengedar dan atau bandar Narkoba. Para penegak hukum akan memandang bahwasanya para pengguna Narkoba tidak lebih pelanggar hukum yang harus dijerat oleh ketentuan hukum yang berlaku. Adilkah ini ?


Penindakan bagi para pelanggar hukum adalah sangat diperlukan mengingat bahwa tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan dalam kehidupan sosial yang dicederai oleh pelaku tindak pidana namun demikian hukum juga tidak bertujuan sebagai instrumen balas dendam terhadap akibat yang telah dilanggar oleh pelanggar tersebut. Dalam konteks demikian maka dalam masalah penindakan bagi para pecandu Narkoba sudah seharusnya para aparatur penegak hukum dapat memilah - milah apakah pecandu narkoba tersebut dapat tergolong sebagai "korban" atau memang harus dianggap sebagai pelaku tindak pidana.


Harus diakui sesungguhnya dalam pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan Narkoba selalu ada pihak "korban". Pemahaman yang sulit adalah bagaimana membuktikan bahwa pencandu tersebut adalah sebagai 'korban" mengingat perbuatan penyalahguna itu sendiri sudah merupakan perbuatan pidana.


UU No. 22 tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pada dasarnya telah menetapkan batas-batas pengertian bagi pecandu "korban" atau pelaku tindak kriminal. Hal ini dapat dilihat berdasarkan "peran aktif" si pecandu maupun keluarganya. Seorang pencandu dapat dikatakan sebagai korban bilamana :



  1. Pecandu tersebut masih di bawah umur dan telah dilaporkan oleh orang tua/wali kepada pejabat yang berwenang (pasal 86 ayat 2 UU No. 22/1997 tentang Narkotika, bahwa pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan orang tua/wali tidak dituntut pidana).

  2. Bagi pecandu yang cukup umur dan telah melaporkan diri kepada pejabat yang berwenang, dapat disebut korban setelah diketahui yang bersangkutan tidak terlibat dalam jaringan peredaran narkoba dan mereka benar-benar dapat dinyatakan sebagai pengguna.

  3. Kriteria korban dapat diberlakukan terhadap penderita sindroma ketergantungan psikotropika, walaupun dalam UU Psikotropika tidak mengatur kewajiban melaporkan bagi orang tua/wali penderita sindroma ketergantungan yang belum cukup umur maupun yang cukup umur. Dengan alasan bahwa "Kewajiban melapor tersebut merupakan tujuan daripada UU Narkotika maupun Psikotropika agar korban segera dapat dilakukan pengobatan dan rehabilitasi. Bahwa pengobatan dan rehabilitasi tersebut dimaksudkan untuk dapat memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial pecandu/penderita, sehingga diharapkan bahwa korban tersebut tidak lagi mencari barang illegal ataupun mempengaruhi korban baru termasuk menjadi pengedar."

  4. Sedangkan pejabat yang berwenang untuk menerima laporan orang tua/wali atau korban tersebut adalah pejabat yang ditunjuk dari Polri maupun Depkes.

Lalu bagaimana bagi pecandu "korban" yang tidak melaporkan kondisinya ?


Bagi pecandu yang tergolong sebagai "korban" hukum menuntut mereka untuk membuktikan kedudukannya sebagai "korban". Hal ini mengingat hukum tentang pemberantasan dan peredaran Narkoba di Indonesia tidak menganut azas "siapakah korban {who is the victim)".

Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada pokoknya menyatakan bahwasanya Hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat:
  1. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, jika pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, atau
  2. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan jika pecandu narkotika itu tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Adapun tentang perintah masuk ke panti rehabilitasi dikategorikan sebagai vonis hakim. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur dalam penjelasan Pasal 47 yang menyatakan Penggunaan kata memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbukti bermasalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu yang bersangkutan.

Komentar

  1. Anonim7:47 AM

    Bang, itu dalam praktek gimana ya... apakah pengguna yang di sidang meminta ke hakim untuk di rehab pasti akan dikirim ke pusat rehab sebagi pengganti penjara? trims sebelumnya.. rudi

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy