Langsung ke konten utama
loading...

FACE OFF .... (untaian kasus kekerasan dalam rumah tangga)


Usai nonton DELIK di RCTI (tayang hari senin jam 22.30), rasa penasaran ku ttg wajah asli si pasien face off terhapuskan juga. Ternyata, wajah Lisa (si pasien face off), sebelum disiram air keras oleh suaminya, memang cantik. Saking cantiknya, tetangganya menceritakan, "lha wong kalau dia bangun tidur, enggak mandi, langsung ke pasar. Di pasar jadi idola kog". weleh ... weleh .... (tapi emang bener bow .... fhoto yang ditayangkan oleh RCTI juga membenarkan hal tersebut)
Yang bikin kagum, si Lisa itu bisa memendam kesakitannya (baik secara psikologis maupun fisik) selama 3 (tiga) tahun. Ini menunjukkan kalau si Lisa itu memang termasuk tipe orang yang tegar, tabah dan juga orang yang tertutup.
Tapi syukurlah si pelaku yang menyiram wajah Lisa itu sudah ketangkap. Dalam tayangan DELIK, Mulyono (sang pelaku) dengan linangan air mata "IBLIS' mengungkapkan penyelasannya, "saya menyesal .... tadi saya pikir tidak akan parah ... lha wong cuma saya siram biasa saja kog ...."

Demikianlah penyesalan setan .... nyiram muka pake air keras kog mikirnya enggak bakalan nimbulkan efek yang parah ?

Catatan dari kasus Lisa ini memang menjadi rentetan kasus-kasus tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang kerap kali hanya menjadi kasus domestik (kasus yang tidak akan terungkap jika si korban (umumnya wanita) tidak mau melaporkan)

Agak susah memang melakukan advokasi terhadap wanita-wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena banyak faktor antara lain masih kentalnya pemahaman bahwa masalah dalam rumah tangga adalah masalah pribadi/domestik, yang orang lain tidak boleh ikut campur yang pada akhirnya membuat orang lain pun enggan turut campur. Cilakanya, pemahaman ini merasuki pula alm pikiran aparat-aparat penegak hukum kita. Yang sialnya .... penegak hukum menjadi pasif untuk menindak lanjuti kasus-kasus sejenis ini.

Selama ini penyelesaian kasus-kasus KDRT hanya mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP. Padahal pasal-pasal tersebut kurang dapat mengadopsi dan memberikan keadilan pada korban. Sehingga patut menumbuhkan harapan ketika pada akhirnya (setelah tujuh tahun dalam penantian) Panitia Khusus Komisi VII DPR RI bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan (mewakili Pemerintah), memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU Penghapusan KDRT).

Bila diimplementasikan dengan konsisten, keberadaan RUU Penghapusan KDRT akan membantu upaya perlindungan perempuan, terutama para istri, dari aneka bentuk kekerasan.
Pertama, karena akan membuat suami tidak bisa lagi berbuat semena-mena terhadap dirinya. Sebab tindakan kekerasan yang dilakukan seorang suami tidak lagi menjadi urusan pribadi, tetapi telah menjadi urusan publik. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7.

Kedua, karena ancaman hukumannya cukup tinggi. Pelaku kekerasan fisik diancam dikenakan pidana penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp 15 juta (Pasal 29 (1)). Bila mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dikenai pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp 30 juta (pasal 29 (2)). Sementara bila mengakibatkan kematian korban dikenai pidana penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp 45 juta (Pasal 29 (3)).

Sedangkan pada pelaku kekerasan psikis dikenakan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda Rp 9 juta (Pasal 30). Pada pelaku kekerasan seksual dikenakan pidana penjara maksimal 12 tahun dan denda Rp 36 juta (Pasal 31).

Bahkan bila mengakibatkan korban luka tak bisa sembuh, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan, atau gugur atau matinya janin dalam kandungan atau tak berfungsinya alat reproduksi dikenakan pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun atau denda minimal Rp 25 juta dan maksimal Rp 500 juta (Pasal 33).

Ketiga, karena kini dengan hanya keterangan saksi korban ditambah satu alat bukti yang sah (keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, surat dan keterangan terdakwa) sudah bisa membuktikan terdakwa pelaku KDRT. Selain itu telah disepakati pula saksi pidana tambahan atau sanksi alternatif berupa pembatasan gerak pelaku dari korban serta penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Memang RUU Penghapusan KDRT ini masih mengandung kelemahan seperti masih diterapkannya delik aduan bila kekerasan tersebut terjadi antara suami-istri, dengan alasan dalam relasi suami-istri, tak akan diketahui adanya tindak kekerasan jika korban tidak melaporkan diri.

Selain itu juga hanya ada satu pasal (Pasal 32 tentang pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu) yang mengatur hukuman minimal bagi pelaku kekerasan, ya-itu pidana minimal empat tahun dan maksimal 15 tahun atau denda minimal Rp 12 juta dan mak-simal Rp 300 juta. Hal ini membuka peluang, pelaku menerima hukuman yang sangat ringan.

Tapi bagaimanapun juga, keberadaan RUU Penghapusan KDRT ini memberikan sebersit harapan bagi para istri atas upaya perlindungan bagi dirinya. Terlebih bila diiringi dengan upaya mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat, birokrat juga aparat akan konsep kesetaraan dalam relasi laki-laki-perempuan, termasuk juga kesetaraan (dan apresiasi) atas kerja perempuan di ruang domestik.

Upaya perlindungan tersebut akan kian sempurna bila diiringi dengan upaya Pemerintah dalam mereduksi kemiskinan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Saya berharap keberadaan RUU Penghapusan KDRT ini akan membantu para suami agar bisa memiliki perilaku yang menyayangi istrinya. (lho ?? emangnya elo romantis sama bini elo yu ?..... sssttttt !!!)



Komentar

  1. mulyono itu suaminya khan ya ? face off kalo wajah nadya hutagalung yg ditempel dimukaku, mau aahhh hihihi...

    BalasHapus
  2. Anonim8:10 AM

    hmmm... kalo kekerasan mental alias penghancuran mental seseorang dengan kata2 ada hukumnya ga ya... pengkhianatan? pemfitnahan? terlalu sepele di negara yang penuh krisis ini ya? *sigh* padahal katanya fitnah lebih kejam daripada pembunuhan... dan walaupun belum terbunuh, fitnah memang terbukti kekejiannya dalam menghancurkan hidup seseorang... i guess i can't really rely on law anyways...

    BalasHapus

Posting Komentar

Ini diperuntukkan untuk komentar/ tanggapan pembaca. TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK MENGAJUKAN PERTANYAAN. Jika ingin bertanya, silahkan ajukan permasalahan ke advokatku@advokatku.web.id

Postingan populer dari blog ini

Kasasi, pengertian dan prosedurnya

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ; Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum ... Apa Bedanya ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum ( genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah : 1. Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan ( agreement ). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

Pengampuan, syarat dan prosedurnya

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata : "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan" Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foy